Santri dan Subjek Perkembangan Zaman
Syahdan, ketika itu pasukan Arab Pagan (Kaum Musyrik) beserta beberapa Bani Yahudi sepakat untuk menyerang Kota Madinah. Kurang lebih sepuluh ribu pasukan yang dipimpin oleh Abu Sufyan siap untuk mengepung Kota Madinah kala itu. Di Madinah sendiri, Nabi Muhammad telah mendapatkan kabar tentang rencana penyerangan tersebut. Lalu Nabi mengumpulkan semua sahabat untuk merundingkan cara menangkal pasukan lawan yang begitu besar jumlahnya.
Sebagian sahabat
mengusulkan untuk memakai strategi perang badar, yaitu dengan menghadapi musuh
secara langsung lewat jalur darat. Akan tetapi dalam sebagian riwayat, Nabi
Muhammad lebih condong untuk memakai strategi perang uhud untuk menghadapi
musuh yang begitu besar, yaitu dengan membagi pasukan menjadi dua bagian, sebagian menghadapi lewat jalur darat dan sebagian menunggu
di atas bukit.
Di tengah-tengah
diskusi yang begitu pelik, tiba-tiba Salman Al-Farisi seorang sahabat yang lama
hidup di daerah Persia unjuk tangan untuk matur kepada Rosulullah. “Maaf ya Rosul,
apakah keputusan itu berasal dari wahyu ataukah murni pendapat darimu? Jika
hanya sebatas pendapatmu, ijinkan hamba ikut berpendapat juga” Begitu kata
Salman. Lalu dia mengusulkan untuk memakai strategi yang biasa dipakai di
Persia yaitu dengan membuat parit untuk membentengi daerah
utara Kota Madinah. Parit yang cukup dalam dan lebar hingga tidak mungkin
dilewati oleh pasukan kuda, sekiranya mereka terjatuh di dalamnya dan tidak akan mampu melompat lagi. Akhirnya Rosulullah
menyetujui usulan dari Sahabat Salman tersebut.
Peperangan dimulai,
pasukan kafir kesulitan menembus parit yang dibangun oleh kaum Muslimin,
sebagian mereka terpecah-belah karena terkena hasutan salah satu dari Sahabat
dan akhirnya pasukan Islam berhasil mempertahankan Kota Madinah dengan aman.
Sepenggal kisah
dalam perang khandak yang heroik itu mengajarkan kepada kita bahwa betapa
pentingnya sebuah setrategi untuk menghadapi musuh. Bahkan setrategi itu harus
selalu disesuaikan dengan perkembangan keadaan, musuh, dan tempat peperangan.
Santri, yang
(seharusnya) juga menjadi penerus dari perjuangan Rosulullah dan para sahabat
tentu harus memahami pentingnya kebutuhan untuk selalu memperbarui setrategi
dakwah mereka. Perkembangan Zaman yang disertai
dengan perkembangan akses informasi melalui berbagai macam media tentu harus
segera direspon oleh para santri. Musuh Islam tidak lagi menyerang secara
brutal dengan kekuatan fisik, akan tetapi sudah mulai memakai cara yang lebih
modern.
Oleh karena itu,
seperti halnya Rosulullah yang mengubah strategi perang dengan membuat
parit-parit mengelilingi Kota Madinah, begitu pula kita harus mampu mengubah
cara berdakwah kita menyesuaiakan dengan kebutuhan
dan keadaan musuh. Tentu saja, hal ini dengan tanpa meninggalkan secara
serta-merta manhaj dan cara dakwah
salafus solih yang sudah diajarkan oleh para guru kita. Persis seperti kaidah
yang kita jadikan patokan di dalam manhaj
Nahdlotul Ulama yaitu “al-muhafadhotu ‘ala al-Qodim as-Solih, wa al-Akhdhu bi
al-Jadid aslah” menjaga manhaj lama yang masih relevan dan mengelaborasi manhaj baru yang lebih baik.
Belajar dari Walisongo
Kita sebagai santri
modern sudah semestinya bisa mengambil pelajaran dari para pendahulu kita,
seperti jejak langkah para Walisongo dalam menyebarkan agama islam. Ulama
seperti Kanjeng Sunan Kalijaga yang memilih untuk masuk melalui media seni
(gemelan, nyanyian, wayang) adalah contoh yang jelas bagaimana seharusnya
seorang santri mengelaborasi manhaj
dakwahnya.
Munculnya media
sosial seperti facebook, youtube, twitter dan lain sebagainya harus direspon
positif oleh para santri zaman now. Santri
sekarang tidak cukup hanya menguasai ilmu-ilmu agama an-sich tanpa dibekali kemampuan mengelaborasi manhaj
dakwah. Mau tak mau santri harus ikut memanfaatkan media tersebut sebagai salah
satu cara menyebarkan informasi positif tentang islam.
Santri harus mampu
tampil sebagai “subjek” ketika dihadapkan dengan berbagai macam media
elektronik maupun internet. Menempatkan diri sebagai subjek berarti santri
harus mampu mengambil alih jalannya media tersebut sebagai alat bukan hanya
dipermainkan oleh media yang ada, Sebab, jika semua santri hanya berposisi sebagai “objek” maka
perkembangan media luar lah yang nanti akan menunggangi dan mengangkangi kita.
Banyaknya acara
televisi yang tidak mendidik masyarakat, menyebarkan informasi-informasi bohong
atau hoax di media sosial.
Menjamurnya konten-konten negatif di dalam media internet, serta kemudahan
dalam mengaksesnya lambat tapi pasti akan menjadi musuh terbesar dalam dakwah
Islam. Selamanya kita hanya akan menjadi korban dan melulu menyalahkan
media-media tersebut. Hal itu terjadi karena kita sebagai santri hanya memposisikan
sebagai objek saja, sebagai konsumen, sebagai penikmat. Oleh karena itu mulai
saat ini sangat diperlukan pelatihan-pelatihan berbasis teknologi di pondok
pesantren sebagai bekal dakwah santri.
Pelatihan menulis,
pelatihan jurnalistik, pelatihan multimedia lainnya seperti video, dan lain-lain akan menjadi senjata dan strategi yang efektif untuk menunjang peralihan
posisi para santri dari yang hanya menjadi objek saja beralih menjadi subjek.
Wal hasil, kita tidak akan pernah bisa menghentikan
laju perkembangan zaman, akan tetapi kita bisa
mengurangi akses negatifnya dengan cara mengendalikan perkembangan tersebut.
Mudah-mudahan Allah selalu memberikan kekuatan dan kesehatan kepada para Kiyai
dan Ulama agar senantiasa dapat membimbing para santri menuju masa depan islam
yang diridhoi oleh Allah.
Penulis : H. M. Hanif Maimun, Lc.
Guru Tafsir MA Tajul Ulum
Alumni MA Tajul Ulum Jurusan Keagamaan 2005
Alumni Al Azhar Kairo Mesir
Alumni MA Tajul Ulum Jurusan Keagamaan 2005
Alumni Al Azhar Kairo Mesir
Tidak ada komentar: