Senyum Terakhir Nafisah

Sumber gambar : aboutislam.net


Di tepi aliran air sungai yang tenang, disertai hembusan angin yang  lembut penuh kasih sayang, dengan sesekali terdengar kicauan burung bertengger di pohon seberang, sungguh membuat suasana begitu nyaman. Di pagi yag cerah itu, seperti biasa masyarakat memulai aktivitasnya, ada yang ke ladang, ada yang ke pasar, dan ada pula anak-anak kecil yang bermain bersama kawan sebaya dengan canda tawa yang mengasyikkan.
               
Tapi, tak seperti yang kebanyakan dilakukan anak sebayanya, seorang gadis kecil yang manis, berkulit sawo matang, dengan rambut bergelombang yang yang tersatir hijab merah muda rapi dengan berhias bunga yang tampak begitu menawan.  Sebut saja Nafisah, Sang gadis kecil yang hanya bertempat tinggal di gubuk yang amat sederhana di bawah cemara tepi sungai. Ia hanya tinggal bersama ayahnya, ibunya meninggal dunia 2 tahun lalu, saat Nafisah berusia 3 tahun.

Nafisah menjalani kehidupan sehari-hari dengan bimbingan  ayahnya, dia diajari ilmu-ilmu agama, seperti halnya mengaji, ia sangat suka mengaji dan sangat mencintai al-Qur'an. Ia pun mengemban cita-cita mulia, yakni menjadi seorang hafidzah atau penghafal Al-Qur'an. Menjaga ayat-ayat agung di relung hatinya.

Sampai tibalah suatu ketika, ia menghaturkan ungkapan hatinya kepada sang ayah, yang tak lain untuk meminta restu sang ayah untuk diperkenankan menghafal  Al-Qur'an. 

“Ayah, aku ingin menjadi penghafal al-Qur'an, agar ibu bisa tersenyum melihatku. Maka, aku minta restu dan doakanlah aku, yah...!” ucap Nafisah pada ayahnya. Ayahnya pun berkaca-kaca sembari tersenyum lalu memeluknya. “Ayah bangga sama kamu nak, doa ayah kan selalu menyertaimu nak..!” jawab ayah.

Karena sudah mendapat restu dari ayahnya, Nafisah pun memulai hafalan Al-Qur'annya, perlahan, sedikt demi sedikit. Jarum jam terus berputar dan haripun terus berganti. Tak terasa dalam kurun waktu setahun, separuh Al-Qur'an telah berhasil ia hafalkan.

Suatu saat, ketika Nafisah ingin menambah hafalannya,  di sebuah gubuk yang tebuat dari anyaman pohon bambu,  sungguh mengambarkan kehidupan pedesaan yang masih terjaga keasriannya.  Dalam kenikmatan hafalanya, tiba-tiba ia merasakan sakit kepala yang sangat hebat dan akhirnya ia pun jatuh terlentang di lantai berbambu itu dan pingsan.  Sang ayah yang mengetahui hal itu langsung membawa Nafisah pergi ke Rumah sakit yang lumayan jauh dari Rumah.

Dengan sekuat tenaga sang ayah menggendong Nafisah menuju rumah sakit, rasa khawatir, cemas, dan takut bercampur aduk menjadi satu dalam hati sang ayah. Ayah Nafisah tak ingin kehilangan anak semata wayangnya itu, ia tak ingin kehilangan untuk kedua kalinya orang yang begitu ia sayangi, setelah ia kehilangan Aisyah, ibunda Nafisah.

Sesampainya di rumah sakit, sang dokter langsung memeriksa keadaan Nafisah, adapun ayah Nafisah berdiri menunggu di depan pintu, sembari dengan perasaan tak karuan ia melirik ke dalam kamar melalui kaca jendela kamar, berharap tak terjadi sesuatu buruk pada Nafisah. “Ya Allah, lindungilah anakku Nafisah, selamatkan dia Ya Allah”, untaian doa selalu ia panjatkan dalam hati nuraninya, hati suci penuh kasih seorang Ayah.

“Ma'af tuan, putri tuan terserang penyakit ganas yang menyerang kepalanya”, tutur sang dokter setelah beberapa menit memeriksa keadaan Nafisah. “Tapi masih bisa sembuh kan dok?”, sahut ayah Nafisah dengan spontan. Sang dokter hanya diam, tak menjawab, kemudian menggelengkan kepalanya seraya berkata “kita berdo'a saja, semoga Allah menyembuhkan penyakit putri Tuan”, tanpa menaggapi jawaban dokter, sontak ia pun langsung berlari memasuki kamar Nafisah, mengelus lembut rambut lurus putri tercintanya itu.

“Nafisah sayang, Nafisah yang kuat ya. Nafisah pasti bisa sembuh, ayah janji akan mengajak Nafisah Jalan-jalan nanti setelah Nafisah sembuh”, ucap ayah Nafisah dengan lembut, sembari menitihkan air mata kesedihannya.

***

                Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Nafisah diperbolehkan pulang ke rumah. Kondisinya mulai membaik. Dan juga Nafisah tak mau terus menerus berbaring di tempat tidur, ia ingin bangun, ia rindu dengan Al-Qur'annya, ia rindu dengan hafalannya, ia merindukan hal itu. Dengan tekat yang kuat, Nafisah berusaha menambah hafalan Al-Qur'annya.  Walaupun terkadang,  sakit  di kepalanya masih sedikit terasa, tak sedikit ia meneteskan air mata sucinya, menahan rasa sakit yang tak kunjung hilang. Namun, itu semua ia hadapi dengan teguh, ia ingin segera meraih impiannya, ia ingin segera melihat senyum ibundanya.

Waktu terus berlalu, menyisakan harapan yang indah dalam hati. Tepat enam bulan sudah berlalu, setelah perawatannya di rumah sakit. Nafisah telah berhasil menyelesaikan hafalannya. Pagi itu, hembusan angin terasa begitu sejuk dalam kulit, suara kicauan burung-burung murai batu bersahut-sahutan laksana ikut bergembira menyambut kebahagiaan dan keberhasilan Nafisah pagi itu.    

“Alhamdulillah Nafisah berhasil, Nafisah hebat.”, ungkap ayah Nafisah,  sembari tersenyum memandang wajah manis putinya itu. Nafisah ikut tersenyum “semoga Bunda juga bahagia ya ayah ?”, tutur Nafisah dengan polos. “Pasti nak, pasti bunda bahagia melihat Nafisah saat ini”, jawab sang ayah sembari memeluk badan mungil Nafisah. Syahdan, sakit kepala Nafisah tiba-tiba kembali terasa, sangat sakit dan lebih hebat dari biasanya. Nafisah hanya berusaha menahan rasa sakit itu, rasa sakit yang begitu menyiksanya. Ia tak ingin menangis ia harus tersenyun di hari bahagianya itu. Namun, saat itu dipelukan indah sang ayah. Nafisah menghem-buskan Nafas terakhinya, memejamkan mata tuk selamanya, dalam keadaan tersenyum.

Penulis :
Najmullah PM, XI IPA B

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.