Mencari dan Menggapai Ridho Guru
Santri,
ketika masuk ke sebuah pondok pesantren ibarat sepeda yang sedang
diperbaiki di bengkel. Keduanya
sama-sama diperbaiki dengan tujuan dapat berguna dan dimanfaatkan. Ketika
diperbaiki oleh sang empu bengkel, sepeda harus menerima segala macam bentuk
perbaikan. Semua yang dianggap bermasalah pasti diperbaiki dengan keterampilan
yang dimilikinya. Begitu juga santri, ia harus mematuhi segala yang disarankan dan
diperintahkan oleh sang guru, terkhusus kyai-nya sebagai empunya pondok
pesantren.
Hal-hal yang
diinstruksikan sang kyai sudah barang tentu untuk kebaikan seluruh santriya.
Meskipun ketika keadaan seperti itu, banyak santri yang tidak merasakannya, atau
bahkan merasa dipenjara, dikekang, dibatasi pergerakannya dan “negative
thinking” lainnya. Namun percayalah, semua itu pasti ada efek baiknya yang akan
dirasakan, meskipun itu jauh di masa yang akan datang.
Jika santri
tidak menurut, membangkang, atau bahkan memberontak terhadap perintah gurunya,
jangan harap ia akan menjadi seseorang yang berguna. Dalam hal ini, ridho sang
guru-lah yang harus dicari oleh si santri. Meskipun secara dzohir (kasat mata)
ia menjadi orang besar di suatu hari, tapi ketika sang guru tidak meridhoi-nya
maka kebesaran yang didapatkannya merupakan kesia-siaan belaka, karena ridho
Allah ada di tangan guru. Konklusi itu muncul dari premis, bahwasannya ridho
Allah itu ada pada ridho kedua orang tuanya, sementara guru adalah orang tua bagi
(ruh) santri juga. Maka ridho Allah juga terletak pada ridho guru.
Dalam sebuah
syi'ir mengatakan:
اُقَدِّمُ
أُسْتَاذِىْ عَلَى نَفْسِ وَالِدِيْ # وَإِنْ نَالَنِيْ مِنْ وَالِدِى الْفَضْلَ وَالشَّرَفُ
فَدَاكَمُ
رَبِّ الرُّوْحِ وَالرُّوْحُ جَوْهَرُ # وَهَذَامُرَبِّ الْجِسْمِ وَالْجِسْمِ كَالصَّدَفِ
Saya mengutamakan guru daripada orang tua,
walaupun saya mendapatkan kemuliaan darinya.
Namun, guru adalah orang yang menuntun jiwa yang
diibaratkan sebagai mutiara,
sementara orang tua adalah orang yang menuntun raga yang
diibaratkan sebagai wadahnya mutiara.
Syi'ir
tersebut mengajarkan pada kita betapa pentingnya posisi guru di hadapan santri
atau murid, dan betapa murid harus menghormati sang guru. Sayyidina Ali bin Abi
Tholib pernah berkata bahwasanya beliau sedia menjadi budak bagi orang yang
telah mengajarkannya sebuah ilmu, walaupun itu satu huruf saja.
Dalam sebuah
syi'ir juga disebutkan:
لقدحقّ
أن يهدى إليه كرامةً # لتعليْمِ حرفٍ واحدٍألْفُ دِرْهمٍ
Sungguh, selayaknya seorang guru diberi kehormatan yang
berlimpah,
untuk satu huruf yang ia ajarkan, senilai dengan seribu
dirham.
Melihat
atmosfir di pondok pesantren, penulis rasa sudah cukup untuk mempresentasikan
bagaimana seorang murid wajib menghormati gurunya. Istilah ta'dzim biasa
digunakan untuk hal itu. Walaupun tidak mutlak semua santri mengamalkannya,
tapi setidaknya sebagian besar santri mengakui dan pernah menjalaninya.
Bagaimana setiap santri berebut membalikkan alas kaki sang guru agar
mempermudah saat dipakai, atau ketidakberanian santri menatap langsung mata
sang guru (Menundukkan kepala), “ngesot” saat sowan (Menghadap) guru di
rumahnya atau bahkan rela memijit sang guru semalam suntuk tanpa berani protes.
Intinya, bagi santri perintah guru itu mutlak dilakukan ketika tidak melanggar
syari'at. Tapi rasanya, sangat minim sekali jika seorang guru memberikan
perintah untuk melakukan sesuatu yang dilarang syari'at.
Jika memakai
kacamata modernisme yang cenderung materialisme, kelakuan santri membalikkan
alas kaki sang guru memanglah sesuatu yang aneh. Tetapi secara tidak sadar, hal
sederhana tersebut akan memupuk rasa kepedulian dan kepekaan kita sebagai
manusia terhadap keadaan sekitar. Kita akan lebih tersentuh untuk memberikan
kemudahan kepada orang lain, meskipun ia tidak memintanya. Memupuk perasaan
demikian tidaklah mudah terwujud jika hanya mengandalkan seabreg teori yang
tercantum di dalam buku-buku pelajaran yang “mereka” sebut pendidikan karakter,
namun minim aplikasi. Apakah penulis tidak setuju dengan program pendidikan
karakter? Tidak, tidak seperti itu. Penulis mengapresiasi dan senang akan hal
tersebut. Itu menandakan bahwa pemerintah peduli akan akhlak para generasi
bangsanya. Namun, ada baiknya jika semua itu tidak hanya dalam sebatas untaian
tulisan di buku saja.
Masih banyak
nilai-nilai pesantren yang terkadang tidak bisa dilogikakan dengan hanya
mengandalkan akal semata yang berkutat dalam hal patuh-mematuhi guru. Meskipun
sekarang kita merasa semua itu tak ada gunanya atau bahkan merugikan diri kita
karena membuat “HAM” kita terkekang, namun yang terpenting bagi kita para
santri, percayalah bahwa apa yang kita jalani sekarang pasti akan ada baiknya
di kemudian hari dan jangan berhenti khidmah bagi pondok di mana kita menjalani
merah-hitamnya peraturan. Semua keberhasilan tidak akan terasa manis tanpa
adanya banyak pengorbanan atau keprihatinan yang kita alami. Mari kita mencari
dan menggapai ridho guru dan kyai kita untuk lebih memberikan manfaat pada
kehidupan kita.
Penulis :
KH. Moh.
Imam Ghozali, S.Pd.I
Humas
Yayasan Tajul Ulum
Guru Fiqih
MA Tajul Ulum
Tidak ada komentar: