Semangat Menggapai Asa




“Orang-orang akan menduga kalau aku mengirimkan atlet yang baru disunat. Lompat lebih tinggi! Dasar lembek!”

“Kalau hanya seperti itu pukulanmu, bahkan anak kecil bisa menangkapnya. Lebih keras! Dasar lemah.” Makian pertama hari itu.

“Kau bergerak macam nenek-nenek sedang hamil. Lebih gesit!! Lebih cepat!! Dasar lamban.” Itu teriakan makian kedua.

“Orang-orang akan menduga kalau aku mengirimkan atlet yang baru disunat. Lompat lebih tinggi! Dasar lembek!” itu yang kesekian kalinya.

Pagi itu di gor jati diri, yang terdengar makian seorang bapak-bapak umur 40 tahunan kepada seorang anak berumur 15 tahunan. Teriakan yang selalu diakhiri dengan kata bodoh, lemah, lamban, tak punya insting dan semacamnya.

Tapi, siapa pun tahu kalau itu teriakan penyemangat yang dikemas dalam bentuk makian karena anak itu sedang berlatih dalam laga final kejurnas badminton junior. Dan bapak-bapak itu adalah pelatih baginya.

“Cukup-cukup, kita sudahi latihan pagi ini, ingat!! Ini adalah latihan terakhir bagimu, besok kamu harus benar-benar harus beristirahat untuk memulihkan staminamu. Oh ya, bagaimana dengan kondisi cideramu kemarin?” Pelatih tersebut menghentikan latihan setelah dua jam berlatih, aku pun menghentikan latihan tersebut.

“Alhamdulillah, sekarang sudah tidak terasa sakit sama sekali, sepertinya sudah sembuh total” kataku sambil menggerak-gerakan kakiku yang kemaren cidera.

Oh ya, aku lupa memperkenalkan diriku. Namaku Ahmad Miftahul Huda, seorang yang ingin menjadi atlet bulutangkis nasional. Dan pelatih hebat ini bernama Ariyanto Wibowo, yang biasa aku sapa pak bowo. Ketika latihan lidahnya sungguh sangat tajam, tapi di luar itu beliau sungguh pribadi yang sangat menyenangkan, baik, ramah, bahkan sama sekali tidak terlihat bahwa beliau orang yang suka marah-marah dilapangan. Andai saja ini novel bukan cerpen akan banyak kebaikan pak bowo yang bisa aku ceritakan pada kalian.
“Bagus. Sekarang kau tinggal menyiapkan mentalmu, kau harus bisa menguasai dirimu, saat kau berhasil menguasainya aku yakin kau bisa memenangkan turnamen itu,” kata Pak Bowo mantap.

“Tapi pak, apakah saya bisa menjadi juara? Mengingat ini pertama kalinya aku ikut kejurnas dan lawanku kali ini adalah juara bertahan dua tahun terakhir, sepertinya dia benar-benar hebat,” kataku pesimis.

“Camkan ini nak, Aku di sini bukan untuk melatih orang berbakat. Tapi, di sini aku melatih orang yang punya tekad kuat”, kata Pak Bowo menyakinkan.

Final day…

Seperti yang dikatakan Pak Bowo, suasana saat ini sungguh berbeda dengan yang kemarin-kemarin. Ribuan penonton telah memenuhi GOR Kartini. Setiap penonton berteriak riuh, GOR serasa akan runtuh.

Sial, aku sungguh gugup.

Setelah empat pertandingan final, kini telah tibalah pertandingan terakhir. Lagaku.

“Lihatlah dia, bayangkan dia seorang yang baru ikut kejuaraan nasional atau lebih dari itu, bayangkan dia baru pertama kali memegang raket. Sekarang masuk lapangan dan hajar dia,” itu kata Pak Bowo terakhir sebelum aku masuk ke lapangan.

Pertandingan dimulai. Service pertama untuk lawan. Aku masih sangat gugup, sehingga aku mengembalikan service dengan tanggung dan langsung disambar olehnya. 0-1 untuk lawan.

Setelah itu, perlahan tapi pasti, aku mulai mengendalikan diriku. Setelah pertandingan yang sengit, saling serang, saling mengejar angka. Lawan akhirnya menang dengan angka 15 – 21.

Aku mengusap peluh di dahi, Pak Bowo mendekatiku.

“Buruk, buruk sekali, kau akan menghabiskan seluruh waktuku untuk melatihmu menjadi sia-sia,” semprot Pak Bowo begitu aku di depannya.

“Tapi, tadi aku masih gugup pak ” protesku.

“Aku tidak mau tahu, yang aku inginkan kau masuk ke lapangan sana, lakukan sesuai dengan apa yang aku ajarkan padamu. Fokus dengan pertandingan!” ujar Pak Bowo

“Siap pak,” sahutku.

Setelah Pak Bowo memberikan beberapa arahan, wasit akhirnya memberi instruksi bahwa set kedua akan dimulai.

Set kedua ini berjalan dengan mujur. Aku mulai fokus pada pertandingan. Aku mulai bisa mengeluarkan kemampuan terbaikku. Set kedua ini akhirnya aku tutup dengan kemenangan 21 – 12.

Di set ketiga, aku semakin tak terbendung. Aku mulai bisa membaca serangan lawan dan mengirim pukulan-pukulan mematikan. Hingga aku bisa unggul jauh 17-9. Juara bertahan itu benar-benar kewalahan.

Ketika aku mulai yakin, ketika aku mulai percaya, ketika kemenangan itu sudah di depan mata, petaka itu datang. Berawal dari pukulan lawan yang mengarah ke sampimg kanan, aku melompat untuk menyambarnya. Shuttlecock itu berhasil ku kembalikan dan jatuh ke area lawan. Poin untukku. Tapi, poin itu harus ku bayar mahal saat menapak di lantai, posisi kakiku tidak sempurna, sehingga kakiku terkilir. Cidera yang ku alami tempo hari kembali terasa kambuh, aku meringis kesakitan dan sambil memegangi kakiku. Medis datang dan memeriksa kakiku. Pak Bowo datang mendekat, “Kau tidak apa – apa nak?” tanya Pak Bowo cemas.

“Tidak apa – apa pak, aku masih bisa. Pertandingan tinggal sebentar lagi,” kataku sambil meringis.

“Kau yakin?” tanya Pak Bowo memastikan.

“Yakin seratus persen pak,”jawabku.

Akhirnya Pak Bowo dan petugas medis menyingkir, pertandingan dilanjutkan.
Setelah itu, gerakanku jadi terbatas, hingga aku akhirnya menjadi bulan-bulanan lawan. Akhirnya lawan bisa mengejar poinku. Kedudukan sama kuat 19-19. Aku tidak ingin kehilangan  turnamen ini, ku paksa diriku berjuang sampai melewati batas, saat lawan memberikan pukulan lambung, ku paksa diriku untuk men-smash shuttlecock tersebut. Sial. Saat mendarat, cidera tersebut  terasa menghujam di kakiku. Bagai ditusuk sebilah pedang. Shuttlecock masuk, aku jatuh terduduk dan menggeram kesakitan. Petugas medis kembali masuk ke tengah lapangan. Memapahku ke tepi lapangan. Pak Bowo mendekatiku, “Sudah cukup nak, aku tidak ingin sesuatu yang lebih buruk terjadi padamu,” kata Pak Bowo cemas.

“Tapi pak, aku tidak ingin kehilangan momen ini, ini kesempatan emasku,” kataku memelas.

Pak Bowo akhirnya luluh melihat kesungguhan tekadku. Akhirnya, petugas medis berkata kepada wasit bahwa pertandingan akan dilanjutkan.

Aku benar-benar tidak berkutik sekarang. Gerakanku terlihat pontang-panting mengejar shuttlecock  dan pada poin terakhir, lawan berhasil memojokkanku dengan mengarahkan shuttlecock di atas kepalaku. Hentakan refleks kakiku, membuat cideraku semakin terasa dan aku terjatuh. Tapi, setidaknya aku berhasil mengembalikan  shuttlecocknya dan lawan kembali mengirim shuttlecock  ke arahku yang masih dalam posisi duduk, aku berhasil mengembalikannya. Kali ini, lawan mengarahkan shuttlecock ke arah kiri, aku menjatuhkan badan untuk menggapainya, belum sempat kembali duduk, lawan mengarahkan shuttlecock ke arah kanan. Aku membanting tubuhku untuk mengembalikannya. Benar-benar perjuangan yang sangat berat. Selanjutnya, lawan mengarahkan shuttlecock ke garis belakang lapangan. Aku dalam posisi duduk mati-matian mencoba mengembalikannya. Akhirnya pukulanku melambung di atas bibir net yang langsung disambar oleh lawan. Shuttlecock jatuh tepat di sampingku, aku memandanginya tak percaya. Pertandingan telah usai.

Aku menangis di tengah lapangan. Semua yang ku lakukan, seolah-olah sia-sia. Perjuanganku dari awal, sejak pertama berlatih. Jatuh bangun di final, seakan tak berguna. Pak Bowo mendekatiku. “Aku kalah pak, aku gagal menjadi juara, aku kalah oleh cidera sialan ini,” ungkapku meluapkan emosi. “Tidak nak, itu tidak benar, dia memang menjadi juara dan memenangkan piala itu, tapi semua orang tau, semua yang hadir di GOR ini, dan semua yang menonton pertandingan ini tahu kalau kau menjadi juara sebenarnya. Kau terus berjuang sampai akhir tanpa peduli keadaanmu, kau memenangkan sesuatu yang lebih berharga daripada piala itu. Kau memenangkan seluruh hati orang yang hadir di GOR ini, dan piala itu masih bisa kau dapatkan tahun depan,” ungkap Pak Bowo menenangkanku.

Ketika penyerahan tropi, penonton bergemuruh ketika aku mengangkat tropi juara dua ku yang jauh lebih riuh daripada ketika sang juara turnamen mengangkatnya.
               
Pak Bowo benar, aku telah memenangkan sesuatu yang lebih berharga daripada sebuah tropi.

Penulis  : Ahmad Ainun Najib ( X MIA 1)

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.