Kaca Mata Pemimpin Indonesia
Setelah masa orde baru, Indonesia memasuki babak baru demokrasi, beberapa
pemimpin sudah mewarnai perjalanan panjang berdirinya negara ini, lantas
seperti apakah pemimpin di masa depan yang diharapkan bangsa ini?
Sebagai
negara yang menganut demokrasi, Indonesia sangat menjunjung tinggi kebebasan
pendapat dan aspirasi rakyat. Rakyat bebas menyampaikan ide-ide dan gagasannya
kepada pemerintah. Namun, apakah demokrasi di Indonesia sudah benar-benar
terlaksana? Menurut bapak Rofiudin Indonesia sudah menjalankan demokrasi, tapi di sisi yang
lain, banyak sekali pelanggaran yang menciderai nilai-nilai demokrasi. “Kita
juga tidak bisa mengatakan jika Indonesia itu 100% negara demokrasi”, jelas
beliau, “Contoh, orang yang berdemo ingin menyampaikan aspirasi, tapi malah
ditangkap karena tidak boleh berdemo” sambung beliau.
Demokrasi Indonesia di era informasi ini mendapat
tantangan berupa suburnya ladang berita bohong (hoaks). Adanya media sosial
membuat masyarakat mudah berkomentar atau menyampaikan pendapat. Bahkan, tak
jarang muncul ujaran kebencian dan
fitnah. Padahal, kebebasan berpendapat seseorang terbatas oleh kebebasan
berpendapat orang lain. Karena pada prinsipnya, hak seseorang dibatai oleh hak
orang lain. Karena setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama di
mata hukum.
Namun, prinsip dasar itu kurang dipahami atau sudah
paham, tetapi diabaikan begitu saja oleh masyarakat Indonesia, khususnya
masyarakat internet (netizen). Faktanya, hoaks atau berita bohong semakin hari
kian bertambah. Apalagi sekarang ini sudah memasuki musim kampanye Pemilu
Presiden dan Legislatif tahun 2019.
Saat kekhalifahan Ustman bin Affan banyak sekali berita
bohong yang menyebar sehingga mengakibatkan perpecahan umat islam, itu menjadi
pelajran penting bagi kita, karena hoax itu bisa berdampak buruk, “Hoaks itu
banyak fungsinya ada untuk politik yaitu menyerang lawan, merusak budaya dan
lainnya”
Media baik ceta, elektronik, maupun sosmed pada musim pemilu
tahun ini memliki pern signifikan, selain para aktor politik itu sendiri dalam
membentuk iklim politik yang kondusif semakin tidak terkontrol, jangan sampai
nasib negeri iini sama dengan apa yang terjadi saat kehalifahan ustman bin
affan, bapak rofiudin mengatakan, harus ada pengendalian terhadap apa yang
beredar disosmed, salah satunya adalah elite parpol, dengan menyatakan
pernyataan damai dan tidak menjadi provokator hoaks/kekerasan, karena jika di atas
sudah saling menyerang maka di bawahnya juka akan mengikuti.
Pria asal Blora tersebut menyatakan, Bawaslu Jateng sudah
melakukan banyak hal pada pemilu kali ini, salah satunya dengan memeriksa akun
perserta, beliau menegaskan, jika pada pemilu ini, jangan ada tindak kecurangan
oleh para peserta pemilu, seperti money politic, kampanye hitam dan
lain-lain.
Selanjutnya beliau berpesan kepada masyarakat, agar bisa
memilih pemimpin yang baik, tidak karena uang atau yang lain, dalam pandangan
beliau jika pemimpin yang saat ini melakukan tindak korupsi, dulu ketika mereka
menyalonkan diri menghabiskan banyak uang sehingga ketika terpilih, mereka
memperoleh kesempatan untuk meminta ganti rugi atas uang yang mereka keluarkan,
Selain itu beliau juga berharap jika masyarakat juga ikut andil dalam
pelaksanaan pemilu ini dengan menyumbangkan ide atau gagasan kreatf, jangan
sampai masyarakat apatis terhadap politik.
Memilih pemimpin yang baik
Beberapa hoaks yang menyebar di masyarakat ternyata dibuat oleh elite politik, kemudian
tersebar lewat media. Oleh karenanya harus ada pengendalian
Pasca orde baru, Indonesia mengalami perubahan yang
sangat pesat,mulai bidang ekonomi, budaya, politik. Selain itu juga banyak
sekali tantangan yang harus dihadapi, seperti itu persaingan di dunia luar yang semakin ketat, semua pihak berlomba
lomba untuk menjadi yang terbaik. Juga hadirnya masyarakat teknologi yang
berdampak pada banyak aspek kehidupan, Bapak Rofiudin menjelaskan, jika
pemimpin harus mempunyai terobosan inovatif untuk mengambil kebijakan.’’potensi
negara kita sangat luar biasa. Jadi pemimpin harus bisa mengelola potensi
tersebut, jangan sampai dikuasai bangsa asing”turur beliau
Selain itu menjadi seorang pemimpin harus berani
menanggung resiko, dengan memperhitungakan dampak positif dan negatif dalam
mengambil keputusan, Pemimpin itu harus bisa menghitung-hitung, bagamainama
kedepannya nanti suatu kelompok tersebut berjalan. Jangan sampai pemimpin Indonesia nanti cenderung mementingkan dirinya
sendiri (individualistik), sehingga hanya menjadikan jabatanya sebagai media
untuk meraih keuntungan. Bapak muzammil, ketua tanfidziyyah PWNU Jawa Tengah
mengatakan, jika seorang pemimpin harus siap mengabdi pada masyarakat, bukan
menyuruh masyarakat untuk mengabdi pada
dirinya.
Menurut bapak rofiudin, pemimpin itu harus menghargai
pendapat dan aspirasi masyarakat, harus banyak mendengar dari pada berbicara, mampu menampung suara
masyarakat, Tidak hanya menampung tapi juga harus mau mendorong masyarakat
untuk menyampaikan ide dan gagasannya, Karena ide dan gagasannya masyarakat
sangat membantu pemerintah untuk mengambil kebijakan. Tapi sayang, fenomena
yang terjadi saat ini banyak pemimpin indonesia yang tidak mau mendengar suara
masyarakat bahkan menangkapi masyarakat yang mau menyampaikan pendapatnya
karena dianggap mencemarkan nama baiknya.
Membentuk jiwa kepemimpinan
KH Said Aqil Siradj pernah mengatakan, jika semua orang
mempunyai potensi untuk menjadi seorang pemimpin, Hal itu membuktikan, jika
potensi menjadi pemimpin oleh semua ras, suku, dan etnis. Tapi setiap orang
mempunyai gaya kepemimpinan yang berbeda. Tergantung bagaimana orang tersebut
membentuknya
Salah satu cara untuk membentuk jiwa kepemimpinan adalah
dengan melatih diri sendiri, Kita harus bisa mengendalikan diri kita terlebih
dahulu sebelum menjangkau daerah yang lebih luas, Karena tidak mungkin jika
seseorang yang belum bisa memimpin dirinya sendiri bisa memimpin orang lain.
Bapak rofiudin mengatakan selain dari sendiri, pendidikan
juga bisa mempengaruhi kepemimpinan seseorang. Untuk membentuk seorang pemimpin
perlu diadakan pendidikan yang berbasis riset dan analisa bukan hanya menghafal
saja. Soalnya pemimpin harus terbiasa untuk menyelesaikan suatu masalah dengan
menganalisis. Tidak hanya pendidikan intelektualnya saja, tapi juga harus
disajikan pendidikan yang berkarakter, Percuma jika orang tersebut unggul dalam
hal intelektual tapi karakternya buruk. Pemimpin seperti ini juga bisa
merugikan masyarakat. “(kita lihat-red) yang terjadi sekarang ini, koruptor
pastinya sudah mengenyam pendidkan yang bisa dikatakan sangat layak S1, S2, S3,
bahkan Profesor” pungkas beliau
Tidak ada komentar: