Menjadi Pemimpin Ala Nabi Muhammad SAW

Dok. Internet
  
Tujuh puluh tiga tahun Indonesia telah merdeka. Akan tetapi, kita masih saja meributkan dan berangan-angan untuk mendapatkan pemimpin yang mampu mengantarkan bangsa ini menuju baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur.

Mengapa kita sampai saat ini masih mencari pemimpin? Apakah kita ini ternyata tidak layak menjadi pemimpin sehingga seringkali terseret arus dukung mendukung seperti kebanyakan orang. Begitu banyak orang yang sebenarnya lebih pantas menjadi pemimpin justru hanya menjadi pendukung saja. Hal itu mungkin terjadi bukan karena orang tersebut tidak layak, akan tetapi karena ia tidak memiliki piranti serta akses politik untuk mencalonkan dirinya sendiri. Tidak dapat kita abaikan, peran media massa begitu krusial dalam menggerakkan opini. Kepopuleran dan ketenaran kemudian menjadi magnet dan  parameter yang berpotensi menghancurkan kejernihan masyarakat dalam memandang kriteria seorang pemimpin. Hari ini kita bisa tonton bersama tokoh siapa yang terpampang  di media massa akan lebih dipertimbangkan oleh masyarakat untuk dipilih menjadi pemimpin.

Persoalan pemimpin dan kepemimpinan bukanlah tema baru untuk diperbincangkan. Hampir di setiap lorong pojok warung kopi pun selalu ada obrolan tentang pemimpin dan kepemimpinan. Kita mungkin hanya sebagian kecil dari masyarakat Indonesia yang menyadari bahwa ada yang salah dengan pengertian pemimpin saat ini. Kita sendiri diminta untuk mengupgrade keilmuan tentang kepemimpinan. Al-Qur’an, risalah Muhammad, budaya komunal, sampai teori filsafat kekinian menjadi alat untuk menguji pikiran kita tentang apa itu pemimpin dan arti sebuah kepemimpinan. Hal ini tentu memiliki landasan dan muncul dari keresahan masyarakat yang kini semakin tidak tahu apa itu pemimpin sehingga membuat mereka menjadikan simbol tertentu  untuk disanjung karena kejahilan mereka sendiri.

Nabi Muhammad SAW pernah berkata dalam hadisnya, bahwa setiap dari kita adalah seorang pemimpin dan setiap pemimpin tersebut akan dimintai pertanggungjawabannya. Hadis ini mengafirmasi setidaknya setiap diri kita merupakan pemimpin bagi dirinya sendiri. Dalam klasifikasi lain, seorang ayah adalah pemimpin bagi keluarganya, CEO adalah pemimpin bagi bawahannya, dan seterusnya.

Nabi Muhammad adalah sosok pemimpin yang paling tepat untuk diteladani untuk kita. Dalam diri beliau terdapat sifat jujur, dapat dipercaya, menyampaikan kebenaran dan kecerdasan diri. Keempat sifat yang seharusnya juga menjadi syarat wajib untuk menjadi pemimpin kita dipilih. Apabila seorang pemimpin tidak memiliki sifat jujur, bagaimana ia bisa dipercaya memimpin rakyatnya? Pemimpin juga harus dapat dipercaya dari apa yang ia katakan dan perbuat. Pemimpin ideal harus mampu menyampaikan informasi kepada masyarakatnya sesuai dengan fakta sebenarnya, bukan malah menyebarkan berita bohong. Pemimpin mesti cerdas, tanpa menjadi sok pintar dan mengurui.

Selain empat sifat  tersebut, hal lain yang patut diteladani dari Rasulullah SAW adalah sikap pemaaf dan lemah lembutnya beliau, bahkan kepada para penentangnya sekalipun. Rasulullah mampu bersikap lemah lembut kepada orang yang membelot ketika terjadi perang Uhud contohnya. Dalam hati seorang pemimpin ideal juga menyatu antara rakyat dan Tuhannya. Pemimpin tidak akan mengngkari kepada rakyatnya, karena Tuhan akan murka,  begitu pula sebaliknya. Seorang pemimpin tidak akan ingkar kepada Tuhannya sebab akan mengakibatkan kesengsaraan bagi rakyatnya. Seringkali kita menuntut Tuhan untuk berlaku adil, namun di saat yang bersamaan kita tidak menyadari bahwa keadilan versi Tuhan belum tentu sama dengan keadilan versi manusia. Kita semua mengakui bahwa Tuhan Maha Adil, namun tidak selalu kita mampu memahami bahwa keadilan Tuhan itu tidak selalu sama dengan keadilan yang dimaksudkan oleh manusia

Hari ini kita bisa melihat begitu pemimpin sah dan menjabat yang ada ia hanya menjadi ilusi dalam diri dan perilaku pendukungnya adalah mengumpulkan sumber daya untuk kembali berkuasa pada periode selanjutnya. Padahal aspek yang harus ditekannkan adalaha bagaimana kontribusi kepada rakyat seharusnya menjadi faktor utama yang  idealnya selalu terpatri dalam otak para pemimpin. Sejak ia bangun tidur sehingga tidur kembali pada malam harinya, sebuah jabatan seharusnya dipahami sebagai alat untuk menunaikan janji kampanye tidak  sebagai tujuan utama.

Melibatkan Ulama dalam Mengambil Keputusan
Dahulu para ulama seringkali dilibatkan dalam proses pemilihan pemimpin, sehingga pantulan gelombang hidayah Allah menjadi salah satu elemen kuat dalam menentukan layak tidaknya seseorang menjadi pemimpin. Karena, yang seharusnya menjadi pertimbangan utama dan indikator seorang pemimpin dalam mengambil keputusan adalah Tuhan dan rakyatnya, bukan penyumbang dana kampanyenya, bukan rekan bisninya, bukan keluarganya sendirinya.

Seperti apapun sistem kepemimpinan yang dianut sebuah negara tergantung pada orang yang berada di lingkungan tersebut, seperti apapun sistemnya apabila orang orang yang berkumpul sudah tertanam nilai nilai luhur keikhlasan dan rasa memiliki bersama akan berpengaruh secara besar dalam keberlangsungan berputarnya sebuah roda pemerintahan. Sejarah mencatat bahwa pemimpin tersebut diikuti oleh pengikut yang setia dan kepemimpinan yang ia jalanaiseharusnya tidak diikuti oleh kepentingan-kepentingan tertentu kelompok partisan.

Untuk menguak wacana kepemimpinan juga seharusnya berkaca dari dimensi sejarah. Tentu saja sebagai orang Islam, acuan utama adalah sejarah para nabi terdahulu saat memimpin kaumnya. Namun tragisnya, kepemimpinan saat ini tidak pernah bercermin dan belajar dari sejarah para nabi dan rasul. Pemimpin sebenarnya adalah pemimpin yang tidak berdiri sendiri, ia memiliki pengikut loyal yang juga tanpa kepentingan apapun. Rasulullah SAW memiliki beberapa sahabat yang sangat setia mendukung setiap keputusan.

Ketika orang yang didukung sudah tidak memiliki kemungkinan untuk berkuasa lagi, maka orang-orang yang ada di belakangnya akan berpindah haluan mencari tokoh lain yang potensial untuk dimanfaatkan. Bisa dipahami bahwa pemimpin saat ini di mata masyarakat hanyalah posisi jabatan sementara, ketika periode berkuasa telah usai, maka kembali lagi perebutan-perebutan. Banyak orang berebut menjadi pemimpin karena terdapat nilai-nilai materi yang melekat, seperti fasilitas yang mengitarinya. Perebutan itu menjadikan praktik kelicikan serta suap jabatan menjadi lazim terjadi kepada pihak yang justru seharusnya mengawasi jalannya pemilihan.

Fenomena ini tidak saja terjadi dalam kehidupan berpolitik, banyak kelompok masyarakat pun sudah terjangkit virus itu. Diperparah dengan kecenderungan masyarakat yang memilih pemimpin berdasarkan kebutuhan sesaat dan kepentingan diri yang dibelanya. Ketika lingkungan tidak memungkinkan maka akan dicari pemimpin yang berani, kuat dan tegas. Ketika dihadapkan pada situasi pemimpin yang jauh dari rakyatnya, orang pun mendamba pemimpin yang bisa dekat dengan rakyatnya tanpa jarak. Falsafah Jawa seperti manunggaling kawulo gusti, ing ngarso sung tulodho , ing madyo mangun karso, tut wuri handayani , hingga falsafah keislaman masih sangat relevan ketika menjadi rujukan dalam lingkup kepemimpinann. Tentu saja semua itu dalam rangka bersama terus mencari kebenaran pemahaman terhadap makna pemimpin dan kepemimpinan.

Cak Nun pernah menyampaikan dalam sebuah pertemuan di Kadipiro bahwa kalau engkau ingin membangun kehancuran masa depan, masyarakatmu, bangsa dan negerimu serta umat kekhalifahanmu, tutuplah pintu masa silam dan simpan ia di ruang hampa kegelapan sampai ke relung ketiadaan. Allah Maha Mengabarkan segala apapun yang kita lakukan. Hal ini secara tidak langsung mengiyakan betapa krusialnya belajar sejarah sebagai pijakan menuju masa depan. Sementara banyak orang terlanjur acuh dengan masa depannya. Simbol yang sebenarnya dimanipulsai oleh dalang dipuja sedemikian tinggi. Indikator masyarakat terhadap pemimpin dan kepemimpinan telah berangsur hilang.

Keteladanan pemimpin bagi orang Islam sudah tentu tolak ukurnya adalah Nabi Muhammad SAW. Perubahan besar harus dimulai dari perubahan yang kecil, dan perubahan itu dimulai dari diri kita sendiri, sebagaimana poin dari pengabdian diri kepada Allah adalah tentang kecintaan diri. Allah menyampaikan dalam sebuah ayat,  apabila kita sungguh mencintai Allah maka ikuti dan teladani Nabi Muhammad SAW.

Meneladani Nabi Muhammad SAW tidak harus seratus meniru semua tingkah laku beliau, karena sudah pasti tidak akan mampu. Ada banyak laku spiritual Nabi yang telah membentuk karakter beliau namun kita mengabaikannya, termasuk ketika beliau masih kecil dan sudah dijuluki sebagai Al-Amin. Tentu saja julukan itu tidak datang tiba-tiba, melainkan ada banyak peristiwa yang mendasari cara pandang dari masyarakat di sekitar beliau ketika itu. Satu hal dari banyak hal yang harus ditiru dan diteladani dari Nabi Muhammad SAW bukan hanya perilaku yang sifatnya artifisial, namun justru yang sifatnya lebih humanis.

Perubahan struktural hanya bisa dimungkinkan jika diawali dari perubahan kultural, dan perubahan tersebut hanya bisa dimungkinkan jika diawali dari perubahan individual. Perbaikan dan perubahan individu manusia merupakan hal paling penting saat ini. Merubah cara pandang terhadap kualitas calon pemimpin adalah hal utama yang harus kita bangun kembali jika kita bersungguh-sunguh ingin tidak hanya berhenti sebagai pemimpi yang paham akan kepemimpinan. Setiap personal harus sering melatih dan mengasah kepekaan cara berpikir dan kepekaan cara pandangnya sehingga selalu memiliki pembaharuan pemikiran  terhadap parameter pemimpin bukan abal abal namun diharapkan mumpuni dalam mengambil setiap kebijakan.





Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.