Simbah Marwan; Penghafal Al-Qur’an 10 Bulan dan Wali yang Diangkat Setelah Wafat
KH. M.
Marwan Al-Hafidz dilahirkan di desa Jragung, Demak
pada tanggal 7 Juli 1937. Beliau lahir dari pasangan Bapak Parmo dan Ibu Srinem.
Sejak kecil, tepatnya saat usia enam tahun kyai Marwan telah ditinggal Ayahanda
untuk menghadap pada Sang Pencipta,
sehingga pada usia tersebut ibunya sendiri yang mengasuh serta mendidiknya. Dalam
usia dini beliau selalu mendapatkan perhatian khusus dari ibunya untuk
mempelajari ilmu agama dan berharap agar kelak
putranya dapat menjadi orang alim.
Perjuangan
menuntut Ilmu
Kyai
Marwan belajar pertama
kali kepada Syekh
Abdullah Sajad, seorang ulama yang berjiwa besar. Perjuangannya tidak menetap,
dimana pun beliau singgah selalu mendirikan masjid seperti di Jragung, tempat
kelahiran kyai Marwan. Syekh Abdullah Sajad mendidiknya
dengan penuh perhatian layaknya seorang bapak kepada anaknya. Setelah dewasa, simbah
Marwan muda menimba ilmu di Salatiga dan mengaji kepada Kyai Isom bin Abdul Jalil
Mbanca’an, Salatiga, kemudian meneruskan ngajinya di Pondok Pesantren Futuhiyyah
Suburan, Mranggen, Demak. Beliau berguru kepada KH. Muslih bin Abdurrahman. Selain
di PP. Futuhiyyah beliau juga pernah nyantri di salah satu Ponpes daerah
Sarang, Rembang dan juga di Pare, Kediri, Jawa Timur. Setelah dipandang oleh
gurunya (Mbah Muslih Mranggen) syariahnya sudah mampu/cukup, simbah
Marwan mendapat restu untuk menghafalkan Al-Qur’an. Kemudian diadawuhi
menghafalkan kepada KH. Arwani Kudus. Hal yang paling terkesan bagi simbah Marwan
muda yaitu
sebelum berangkat ke Kudus, saat itu ia sowan dulu ke Simbah Kyai Siroj Solo. Beliaupun
mendapat dawuh “Sliramu ngapalke Al-Qur’an sepuluh wulan opo
sepuluh tahun”. (Kamu
menghafalkan Al-Qur’an sepuluh bulan atau
sepuluh tahun-red). Singkat cerita, Marwan mendapat
pertolongan dari Allah dan akhirnya beliau pun bisa khatam Al-Qur’an dalam
kurun sepuluh bulan dan Qira’ah sab’ah dua tahun.
Setelah
merasa cukup mengaji, Kyai Marwan memulai perjuangan dengan mendirikan Ponpes di
Jragung, Demak. Konon beliau ingin mendirikan pesantren di Sumatera, namun
keinginannya tersebut tidak direstui gurunya (Simbah KH. Arwani). Lalu beliaupun
mendirikan Ponpes di Jragung dan diberi nama “Roudlotuth
Tholibin”. Namun, dengan barokah dari gurunya,
perjuangannya sampai di Sumatera.
Beliau
juga terkenal dengan sifat tawadhu’nya, bahkan
setiap ngaji beliau sering dawuh “Rendahkan dirimu, maka engkau laksana bintang
yang bersinar bagi orang yang memandang seperti hamparan air yang selalu di atas
walaupun mengalir
dibawah. Atau “janganlah kamu seperti asap yang membumbung tinggi diangkasa
sedangkan asap itu rendah tak punya arti”. “Ora ono Kyai zaman saiki seng
tawadhu’e koyok Mbah Marwan.” (Tidak ada
kyai zaman sekarang yang tawadhu’nya seperti simbah Marwan-red.)
dawuh KH. Achmad Mutohar
Mranggen. Dan konon katanya beliau adalah wali yang diangkat oleh Allah setelah
kewafatannya. “Nak wong-wong kondo iku jare mbah Marwan wali seng diangkat Gusti
Allah sakwise wafate”. (Kalau orang-orang bilang itu katanya Mbah Marwan
wali yang diangkat oleh Allah setelah kewafatannya-red), kenang Gus Zaki
yang merupakan putra
terakhir Simbah Marwan.
Dalam
bidang pendidikan formal, beliau merintis
berdirinya Yayasan Miftahul Ulum yang itu semua dipersembahkan untuk masyarakat
Jragung.
Pulang ke Rahmatullah
Kyai Marwan
menderita penyakit sejak kepulangannya dari Tanah Suci Mekah seusai menunaikan
ibadah Haji yang keempat pada tahun 2002. Tidak seperti yang sebelumnya, beliau
memberi wasiat kepada para santri, kepada keluarga, khusunya kepada anak
menantunya KH. Asrori
Lathif AH. “Semongso-mongso aku ono udzur, ingkang neruske pengajian thoriqoh
anakku Asrori” (Sewaktu-waktu aku ada udzur yang meneruskan pengajian toriqoh
anakku Asrori-red).
Sampailah
dihari Kamis pada tanggal 17 Mei 2002 M/
2 Rabiul Awal 1423 H, dimana hari itu hari bersejarah menjelang detik-detik
terakhir, Simbah Marwan sempat mengkhatamkan Al-Qur’an. Pada malam harinya,
kurang lebih jam 02:00 beliau berwasiat kepada para santri “Kabeh santriku tak
jaluk tetep istiqomah ono pondok, maju nderes menyang Asrori podo wae nderes
menyang aku” (Semua santriku saya minta tetap istiqomah di pondok,
maju mengaji kepada Asrori sama saja mengaji dihadapanku-red). Keadaan
beliau sangat kritis sehingga oleh dokter ditempatkan di UGD. Lalu beliau
berwasiat lagi “aku jalukke ngapuro kabeh santri wes ora biso mulang, (Tolong
mintakan maaf kepada semua santriku, aku sudah tidak bisa mengajar-red).
Wasiat tersebut disampaikan sehari sebelum beliau wafat sekitar pukul
10:00.
Pada
hari Ahad kondisi simbah Marwan semakin menurun, tepat ba’da maghrib malam
Senin tanggal 20 Mei 2002/ 5 Rabiul Awal 1423, Simbah Marwan berwasiat kepada
santri terdekat beliau yang bernama Syarqowi, AH. “Syarqowi rene, aku ojo kok tinggal, mengko
kiro-kiro jam songo aku arep lungo suwe”. (Syarqowi kemarilah, jangan
meninggalkanku, nanti kira-kira jam sembilan aku akan
pergi lama-red). Dan kenyataannya pukul 20:25 WIB beliau
meninggal dunia. Pada hari senin 21 Mei 2002/ 6 Rabiul Awal 1432 desa Jragung
bagai lautan manusia yang berta’ziah memenuhi rumah Kyai Marwan. (Niam - Fata)
Sumber:
Wawancara
eksklusif dengan Gus Zaki (putra bungsu Mbah Marwan)
Naskah
“Biografi Kyai Marwan”
Tidak ada komentar: