Melihat Kembali Makna “Al Ulamau Warotsatul Anbiya”
Sumber : internet. |
Sudah menjadi pemahaman yang lumrah dan masyhur bahwa peran dan posisi ulama di
dalam masyarakat sangat penting. Bahkan, saking pentingnya, seringkali kita mendengar para muballigh dan ustadz di dalam ceramah mereka mengutip satu
hadits Nabi “al-ulamau warotsatul anbiya” Para ulama adalah pewaris para nabi.
Sayangnya, hadits tersebut alih-alih menjadi platform perjuangan ulama malah
lebih sering dijadikan legitimasi untuk mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri dari masyarakat awam. Diakui atau tidak,
fenomena perkembangan zaman dengan kompleksifitas permasalahannya menjadi lahan basah bagi “profesi” ulama. Terlebih lagi di daerah perkotaan, kita bisa dengan mudah mendapati banyak anak-anak muda yang tiba-tiba membuka majlis taklim dengan strategi dakwahnya masing-masing.
Tentu kita masih ingat beberapa kasus belakangan ini yang kita lihat di televisi ataupun media sosial. Ada ustadz muda di dalam majlis taklimnya
membuat geger karena mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW. sebelum diangkat menjadi nabi juga pernah tersesat dan mengalami masa
kafir. Dan masih banyak lagi contoh kasus lain yang kita lihat akhir-akhir ini.
Dari fenomena tersebut, menjadi sangat penting untuk menekankan kembali makna kepemimpinan ulama di dalam mengemban perjuangan dakwah kepada masyarakat. “al-ulamau
warotsatul anbiya’” sebenarnya adalah ungkapan yang bermakna bahwa seorang ulama mempunyai
tugas dan tanggungjawab yang sangat besar seperti halnya baginda Rosulullah SAW. ketika itu. Tidak ada dalil dalam Alquran maupun Sunnah
Nabi yang bisa digunakan untuk menguntungkan diri sendiri.
Memposisikan ulama sebagai pewaris nabi berarti
menjadikan nabi sebagai tokoh sentral pijakan dalam berdakwah dan menemani
hidup umat. Juga berarti menjadikan Nabi Muhammad sebagai tokoh sentral yang
harus diserap segala sifat dan sikapnya sebagai tokoh yang hendak diwarisi.
Dari sini, maka menjadi sangat penting untuk membaca kembali perjalanan hidup
Nabi Muhammad sebagai pijakan kepemimpinan ulama.
Sejak awal diangkat menjadi nabi dan diperintahkan
untuk berdakwah mulai dari sembunyi-sembunyi sampai pada akhirnya
terang-terangan, beliau Nabi Muhammad sudah harus memikul beban berat menghadapi berbagai
masalah ketika itu. Mulai dari ditentang oleh beberapa keluarganya sendiri,
oleh masyarakat Mekkah ketika itu, sampai tindakan represif yang dilakukan kaum Quraisy hingga
akhirnya memaksa Nabi Muhammad harus hijrah ke Yatsrib.
Nabi Muhammad sama sekali tidak pernah mengambil
keuntungan pribadi dari gelar kenabian yang ketika itu ia sandang. Bahkan
ketika sudah mulai banyak masyarakat yang mau beriman dan menerima ajaran nabi, beliau tidak pernah
mengambil keuntungan pribadi dari para sahabat-sahabatnya.
Hingga ada satu petikan cerita yang begitu masyhur
ketika malaikat Jibril yang diutus oleh Allah untuk mengawal Nabi merasa sedih
dengan keadaan Nabi. Ia mengabarkan bahwa kalau Nabi Muhammad mau, gunung Uhud akan
dijadikan emas untuk bekal hidup Nabi agar tak selalu dilecehkan oleh
masyarakat ketika itu. Namun, Nabi Muhammad menolak dan lebih memilih hidup
sederhana menemani para sahabatnya ketika itu.
Begitupun dengan keluarga Nabi Muhammad SAW. tidak ada yang mengambil keuntungan pribadi dari
gelar dan pangkat kenabian yang disandang oleh Nabi Muhammad. Siti Fatimah,
putri kesayangan Nabi Muhammad yang dinikahkan dengan Sayyidina Ali sedari awal
hidup dengan keadaan yang sederhana bahkan terlalu sederhana untuk ukuran
seorang putri nabi.
Pernah suatu ketika, Fatimah saking repotnya
mengurus kebutuhan rumah tangga dengan dua anaknya Sayyidian Hasan dan
Sayyidina Husain sempat berfikir untuk meminta pembantu dari tawanan perang
para sahabat. Kebetulan ketika itu umat Islam baru saja memenangkan peperangan
dan banyak tawanan perang yang dibawa pulang ke Madinah. Ketika ayah beliau,
Nabi Muhammad mengetahui niat Fatimah, Nabi langsung melarangnya dan meminta
Fatimah untuk tetap sabar menghadapi hidup.
Dalam hal dakwah, begitu banyak cerita yang sering
kita dengar tentang perlakuan represif kaum musyrik kepada Nabi Muhammad ketika itu.
Mulai diusir dari tempat dakwah, dilempari batu, dianggap penyihir, bahkan
tidak jarang hampir dibunuh oleh para kaum musyrik.
”Ulama sebagai pewaris Nabi” adalah upaya membaca dan merenungi betapa menjadi
ulama, menjadi pemimpin umat harus siap mengemban tugas berat seperti hidup Nabi
ketika itu. Mendahulukan kepentingan dan keperluan orang lain, mengalahkan
keinginan dan kepentingan sendiri demi kemaslahatan umat yang dipimpinnya.
Bukan untuk menaikkan popularitas dan mengambil keuntungan duniawi dari umat dan
masyarakatnya apalagi sampai menipu dan mengakali umat demi kepentingan
pribadi.
Semoga negeri kita diberkahi dengan ulama-ulama
yang benar-benar mewarisi sifat dan perjuangan Nabi Muhammad SAW. Dan semoga
kita semua diselamatkan dari kesalahan dalam mengambil ulama sebagai panutan
kita dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Penulis :
H. M. Hanif Maemun, Lc.
Pengampu Ilmu Tafsir
H. M. Hanif Maemun, Lc.
Pengampu Ilmu Tafsir
Tidak ada komentar: