Ketika Denda Bicara



Denda, sebuah kata yang tak asing di telinga siapa saja. Terutama, bagi mereka yang berada pada lingkungan yang memberlakukan denda sebagai sanksi atas tindakan pelanggaran yang dilakukannya. Tak peduli apakah pelanggaran yang mereka lakukan tersebut disebabkan faktor kesengajaan atau ketidaksengajaan. Bahkan bisa jadi pelanggaran itu menjadi salah satu bagian dari kebiasaan.

Tentunya, pemberlakuan denda itu menimbulkan pro dan kontra dalam lingkungan tersebut. Bagi yang pro, pemberlakuan denda dirasakan sebagai salah satu tindakan efektif untuk membentuk kedisiplinan agar patuh pada aturan. Namun bagi mereka yang kontra, pemberlakuan denda ini dirasakan sebagai suatu hukuman berat yang memaksa sekaligus menyiksa. Apalagi, pada waktu pelanggaran itu terjadi, faktor penyebabnya adalah ketidaksengajaan dan saat itu juga mereka tidak bisa membayar denda. Sementara itu, pihak institusi tidak tahu alasan mereka. Praktis, respons yang muncul pada diri mereka adalah rasa kecewa, tidak suka dan terpaksa.

Seperti halnya yang terjadi pada institusi kita, MA Tajul Ulum yang memberlakukan denda sebagai sanksi atas pelanggaran aturan. Hampir setiap pagi dijumpai adegan siswa-siswi yang kalang kabut membayar denda karena terlambat datang. Saat semesteran tiba, teriakan histeris terdengar di setiap ruang kelas manakala mereka mendapati nama mereka terpampang di mading sekolah dan mereka harus membayar denda sebesar sekian rupiah atas ketidakatifan mereka datang ke sekolah. Satu lagi, keringat dahi dan muka asam akan terlihat pada siswa yang terkena denda karena terlambat mengembalikan buku perpustakaan.

Pemberlakuan denda yang diterapkan institusi kita ternyata dianggap sebagai bentuk pemaksaan oleh sebagian siswa. Mereka beranggapan denda terlalu membebani. Kasak-kusuk bahwa uang denda yang mereka bayarkan digunakan untuk mencari keuntungan sepihak merebak kemana-mana. Tentunya, kalau dibiarkan berlarut-larut, hal ini akan menimbulkan citra buruk bagi institusi kita.

Melihat realita semacam ini, tim redaksi Kristal mengadakan penelitian berkaitan dengan pemberlakuan denda yang ada di MA Tajul Ulum. Penelitian ini dilakukan dengan cara menyebar angket pada 80 siswa MA Tajul Ulum. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pendapat siswa-siswi mengenai masalah denda. Berdasarkan penyebaran angket tersebut, didapatkan 20,2 % responden menyatakan setuju dengan diberlakukan denda, 70,7 % responden menyatakan tidak setuju dan sisanya 9,1 % menyatakan ragu-ragu.

Masing-masing responden memberikan alasan-alasan atas pendapatnya. Responden yang menyatakan setuju dengan adanya pemberlakuan denda, memberi alasan bahwa denda adalah tindakan tepat untuk mendidik siswa berdisiplin. Sementara itu, sebagian responden yang menyatakan tidak setuju beralasan sanksi berupa denda dinilai kurang tepat dan memberatkan siswa. Lebih lanjut, mereka mengatakan, sebaiknya sanksi yang diberikan adalah sanksi yang mendidik, sanksi yang dapat meningkatkan kreatifitas dan kualitas siswa. Mereka menambahkan, sanksi yang mendidik itu di antaranya membuat karya ilmiah, menghafal Asmaul Husna, menghafal ayat-ayat Al Qur’an atau menghafal Hadis. Sebagian responden yang tidak setuju ada yang menginginkan sanksi fisik, seperti push up, sit up, squat jump, membersihkan kaca jendela kelas atau dijemur di halaman sekolah. Hal tersebut dilaksanakan supaya siswa-siswi (si pelanggar) jera dan tidak berani lagi mengulangi kesalahannya.

Menyikapi hal tersebut Bapak Imam Ghozali, Waka Kesiswaan MA Tajul Ulum mengatakan pemberlakuan denda di sekolah dimaksudkan sebagai upaya untuk menertibkan dan mendisiplinkan siswa. Jika ada siswa yang tidak setuju dengan adanya denda, itu menunjukkan siswa tersebut tidak mau tertib dan disiplin. Lebih lanjut beliau mengakui pemberlakuan denda ini sebenarnya kurang efektif. Namun, karena sampai saat ini pihak sekolah belum bisa menemukan sanksi lain yang lebih efektif, untuk itulah denda diterapkan. Meskipun menimbulkan pro dan kontra, ternyata pemberlakukan denda ini cukup bermanfaat. Ini terbukti grafik pelanggaran aturan setiap tahunnya menunjukkan penurunan. Ketika disinggung tentang pendistribusian uang denda, beliau menegaskan bahwa uang denda tidak masuk kantong pribadi seseorang, tetapi digunakan untuk kepentingan siswa kembali. Hanya saja siswa kadangkala kurang menyadari. Salah satu contohnya, kala OSIS MATU mengadakan kegiatan Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) sebagian besar dananya disubsidi dari uang denda. Hal tersebut dilakukan karena dana OSIS tidak mencukupi untuk pelaksanaan kegiatan tersebut.

Pro dan kontra mengenai masalah denda ini memang menjadi perbincangan yang tak ada habisnya. Masing-masing pihak memberikan argumen-argumen yang menarik untuk disimak. Nah, bagaimana sikap para ulama kita berkaitan dengan denda ini?

Dalam hukum fiqh ternyata masih banyak ikhtilaf atau perbedaan pendapat antara imam-imam madzhab empat tentang boleh tidaknya memberi sanksi berupa denda. Dalam kitab At-Buqiyah disebutkan ulama-ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa memberikan sanksi berupa denda itu tidak diperbolehkan. Berbeda dengan pendapat ulama Hanafiyah seperti yang tertulis dalam kitab Madzahibul Arba’ah Juz 5, bahwa mereka (ulama Hanafiyyah) dan sebagian ulama Syafi’iyyah memperbolehkan adanya pemberian sanksi denda.

Oleh karena itu, bukanlah suatu hal yang mengherankan jika sekolah kita memberlakukan adanya denda. Terbukti, saat ini banyak sekolah Islam dan pondok pesantren ternama memberlakukan denda pada siswa dan santrinya sebagai sanksi atas pelanggaran yang mereka lakukan. Seperti YPRU (Yayasan Pendidikan Raudlatul ‘Ulum), Pati, Banat, Pati, Ponpes Al-Falah Kediri dan sebagainya. Hal ini setidaknya membuktikan bahwa ulama-ulama besar membolehkan pemberian sanksi berupa denda.

Terlepas dari itu semua, selayaknyalah kita bersikap bijaksana. Pemberlakuan aturan beserta sanksi yang dikeluarkan sebuah institusi pastilah selalu didasarkan pada pemikiran yang matang. Resikonya pasti ada pihak yang merasa diuntungkan dan merasa dirugikan. Namun demikian, jika porsi manfaat mendominasi hasil keputusan, keputusan itu harus dilakukan dan dijunjung tinggi. Ingatlah pepatah “Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Jika denda harus berlaku dalam institusi kita, sudah sewajarnya kita menjunjung tinggi keputusan itu. Apalagi semua dilakukan demi kebaikan kita semua.

Tulisan ini pernah terbit di Buletin Kristal Edisi X/TH.II/Maret 2004 M
Dewan Redaksi: Mita, Maimun, Himam; Artistik: Ifti, Nimas, A. Said; Distributor: SUhaila, Besut, Asroh, Khotib



Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.