Problematika Penjurusan di SMA/MA, dari Labeling hingga Kebebasan Semu Memilih Pelajaran

Ilustrasi Jurusan di SMA/MA. Repro. Kristal

Penjurusan di jenjang SMA/MA memiliki beberapa problematika, di antaranya adalah munculnya labeling dan kebebasan semu dalam memilih pelajaran jurusan dan peminatan.

Brabo, kristalmedia.net - Ketika pulang ke kampung halaman, saya bertemu dengan Alif, salah seorang teman lama yang ketika itu duduk di kelas X di salah satu sekolah negeri di kota Serang. Alif merasa senang ketika sekolah memberikan kesempatan kepada siswa untuk memilih jurusan yang ingin diambil saat naik ke kelas XI. Tetapi, rasa senang tersebut segera hilang karena keinginannya tidak sesuai dengan keinginan orangtuanya. Alif ingin memilih jurusan IPA sedangkan orangtuanya ingin agar ia belajar lebih banyak ilmu agama, yaitu mengambil jurusan keagamaan. Sebenarnya, Alif memilih jurusan IPA bukan murni karena ingin belajar mapel rumpun IPA, tetapi karena banyak teman-temannya yang memilih IPA, dan tidak semua mapel rumpun IPA disukainya.


Berbeda dengan Alif, di beberapa sekolah swasta di daerah-daerah Indonesia, penjurusan di sekolah bukan berdasarkan keinginan dan minat siswa sepenuhnya, melainkan berdasarkan hasil tes akademik dan psikologi serta menyesuaikan ketersediaan ruangan kelas, guru dan fasilitas penunjang lainnya. Sehingga ada beberapa siswa yang terpaksa masuk jurusan tertentu, padahal ia tidak ingin belajar rumpun ilmu tersebut. Atau bisa jadi seperti Alif, masuk jurusan IPA, tetapi hanya berminat belajar mapel Biologi dan mapel rumpun lainnya, misalkan sejarah dan sosiologi yang terdapat di dalam rumpun IPS.


Labeling dalam Penjurusan


Selain masalah yang dirasakan Alif, penjurusan di sekolah juga menimbulkan labeling dan generalisasi kepada siswa yang belajar di jurusan tertentu. Labeling adalah proses pemberian identitas pada individu atau kelompok yang diletakkan akibat penilaian orang terhadapnya. Seperti siswa yang mengambil jurusan IPA dianggap sebagai siswa yang pintar, sedangkan siswa yang belajar di jurusan IPS adalah siswa yang nakal dan tidak mudah diatur. Biasanya, sekolah atau madrasah akan membagi jurusan kepada IPA, IPS, Bahasa dan Keagamaan.


Istilah labeling pertama kali dikenalkan oleh Edwin Lemert dalam bukunya Social Pathology (1951). Lemert menjelaskan, semakin seorang pelaku kejahatan dicemooh dengan berbagai cacian dan umpatan, maka ia akan semakin memperkuat tindakannya. Pendapat Lemert diperkuat oleh Howard Becker, dengan bukunya Outsider: Studies in the Sociology of Deviance (1963). Howard berpendapat, penilaian seseorang melalui labeling dapat mempengaruhi sisi psikologis seperti perilaku, motivasi dan dorongan. Seperti contoh, adanya anggapan dari masyarakat bahwa sangat disayangkan jika seorang siswa yang pintar dan cerdas, tetapi mengambil jurusan IPS atau Bahasa, daripada jurusan IPA. Labeling tersebut bisa berpengaruh terhadap aspek psikologis pada siswa tersebut dan memicu timbulnya masalah yang lain. Jika seseorang selalu dianggap bodoh, nakal, tidak bisa diatur, dia akan berusaha menunjukkan sifa-sifat tersebut, meskipun pada awalnya dia tidak seperti itu.


Apalagi jika yang melakukan labeling adalah seorang guru terhadap peserta didiknya, dengan memberikan perdikat tertentu kepada jurusan tertentu. Seperti contoh, guru yang menganggap siswa jurusan IPA pintar-pintar dan lebih mudah diatur dibanding dengan jurusan lainnya, sehingga menuntut jurusan lain seperti siswa di jurusan IPA.


Penelitian yang dilakukan Diana Nurhavina bisa memberikan gambaran tersebut. Diana melakukan penelitian tentang ‘Labeling siswa SMA Negeri Jurusan Bahasa di Kota Surabaya’ (Jurnal Biokultur Vol. 11, 2022 hlm. 15-27). Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa pemberian label berpengaruh dan mampu mengubah perilaku seseorang. Label yang diberikan menggambarkan adanya kelompok dominan (pemberi label) dan kelompok kurang dominan (yang diberi label). Kelompok kurang dominan akan mendapatkan banyak pandangan negatif berdasarkan gambaran kelompok, bukan kemampuan individu masing-masing (generalisasi). Dalam penelitian Diana, kelompok dominan adalah guru, dan siswa jurusan IPA dan IPS, sedangkan kelompok kurang dominan adalah siswa jurusan Bahasa.


Beberapa label yang disematkan kepada siswa jurusan Bahasa yang diungkap dalam penelitian Diana adalah slow learnes, malas, dan nakal. Awalnya guru hanya memberikan teguran melalui perbandingan sebagai bentuk motivasi kepada siswa jurusan Bahasa. Siswa memahami teguran tersebut dan berusaha untuk tidak melakukannya lagi. Akan tetapi, tanpa sadar sikap malas, nakal dan slow learnes tersebut dilakukan berulang oleh siswa hingga membuat guru merasa resah. Kemudian guru mulai melihat adanya banyak perbedaan pada jurusan Bahasa dibanding jurusan lainnya dan membuat guru mulai sering membanding-bandingkan jurusan Bahasa dengan jurusan lain secara berulang dan kontinyu.


Proses berulang ini akhirnya menimbulkan penyimpangan sekunder, di mana siswa mulai resah dengan adanya sanksi sosial yang diberikan guru melalui tindakan perbandingan. Meskipun siswa telah melakukan perlawanan, dengan menunjukkan sikap yang positif, akan tetapi tidak memberikan perubahan pandangan pada guru. Terdapat beberapa respon siswa jurusan Bahasa terhadap labeling yang dilakukan guru. Ada siswa yang merasa pasrah dengan labeling tersebut dan menunjukkan perilaku pasif. Ada juga siswa yang awalnya merasa tidak sesuai dengan perilaku tersebut akhirnya memilih berperilaku sesuai label yang diberikan. Apapun respon siswa terhadap labeling, yang jelas akan membuat siswa jurusan Bahasa merasa lebih inferior dari pada siswa jurusan lain. Lama kelamaan siswa memilih pasif dan tanpa sadar menjadi sesuai label tersebut. Perilaku ini menurut Lamert merupakan subkultur baru yang dihasikan jurusan Bahasa akibat mengalami perasaan yang senasib yaitu diberi label. Sehingga siswa jurusan Bahasa merasa bahwa identitas dirinya sesuai dengan label negatif.


Labeling tak hanya terjadi di jurusan Bahasa saja. Di sekolah berbasis agama seperti Madrasah Aliyah (MA), jurusan Keagamaan pun menjadi salah satu jurusan yang terkena dampak labeling dan dianggap sebelah mata daripada jurusan IPA dan IPS. Terkadang jurusan keagamaan dianggap sebagai jurusan pelarian dari siswa yang tidak menyukai mapel  hitung-hitungan dan sejarah. Siswa yang lulus dari jurusan ini hanya bisa melanjutkan kuliah yang notabene-nya mencakup agama saja.


Selain labeling, juga terdapat generalisasi terhadap kemampuan akademik siswa. Seperti siswa yang belajar di IPA pasti menguasai semua mapel rumpun IPA yaitu matematika, kimia, fisika dan biologi. Siswa yang mengambil jurusan IPS pasti ahli dalam bidang ekonomi, sosiologi, antropologi dan keilmuan lain yang berkaitan dengannya. Atau anggapan jika siswa jurusan Keagamaan pasti pintar ilmu agama dan pandai membaca kitab kuning.


Terkait adanya labeling dalam penjurusan mendapat tanggapan berbeda dari Bp.H. Musthofa Sahli, Guru Sosiologi MA Tajul Ulum. Beliau berpendapat bahwa tidak ada labeling terhadap siswa jurusan.”Tidak ada labeling terhadap jurusan, karena setiap jurusan itu punya keunggulannya masing-masing dan semua jurusan itu bagus dan baik. Seperti jurusan IPA dan IPS dengan pelajaran eksaktanya dan keagamaan dengan pelajaran kajian-kajian hukum dan syariat Islam”.


Menurut beliau, pada hakikatnya semua jurusan itu sama, tinggal siswanya saja yang mempunyai kesungguhan dalam belajar atau tidak.”Percuma dia masuk IPA atau IPS, jika tidak suka dengan mapel eksaktanya, dan percuma juga dia masuk keagamaan kalo nggak suka mapel nahwu dan shorof”.


Beliau menambahkan, bahwa semuanya tergantung pada diri siswa sendiri. Bila siswa ingin berhasil dan mendapatkan hasil yang baik, maka harus disertai dengan niat dan usaha yang baik, juga kesungguhan dalam belajar.


Kebebasan Semu Memilih Pelajaran


Menurut pendapat Ki Drmaningtyas, sebenarnya konsep Kurikulum 2013 tentang penjurusan di tingkat SMA/MA sudah baik. Hanya perlu perbaikan di dalam pelaksanaannya. Penjurusan yang dimulai sejak awal masuk kelas X, seharusnya dilakukan setelah siswa masuk semester genap di kelas X. Jadi siswa belajar materi yang sama selama satu semester sebagai materi dasar, selanjutnya adalah materi penjurusan.


Meskipun terdapat penjurusan, tapi siswa bisa mengambil pelajaran peminatan. Ki Darmaningtyas mencontohkan, siswa IPA yang ingin masuk Teknik Sipil ketika kuliah nanti, bisa mengambil materi peminatan Matematika dan Fisika. Siswa yang ingin masuk ke fakultas kedokteran, farmasi atau pertanian bisa mengambil peminatan biologi dan kimia, siswa IPA yang ingin kuliah jurusan arsitektur bisa mengambil peminatan sejarah. Hal ini sebagai upaya memberikan jembatan penghubung antara mapel di SMA dengan materi perkuliahan di perguruan tinggi nantinya.


Namun, dalam prakteknya tidak bisa demikian. Sekolah sudah menentukan mapel peminatan tertentu untuk jurusan tertentu. Seperti yang terjadi di MA Tajul Ulum, mapel peminatan untuk jurusan IPA-IPS adalah Ushul Fikih, sedangkan mapel peminatan untuk jurusan keagamaan adalah Sosiologi dan Ekonomi. Dengan kondisi seperti itu, banyak siswa yang sebenarnya tidak ada minat terhadap mapel tersebut, tetapi terpaksa mempelajarinya. Tetapi jika sekolah menyediakan kelas sesuai minat siswa, maka akan memerlukan ruang kelas dan guru yang tidak sedikit. Hal tersebut juga berkaitan dengan keuangan dan fasilitas penunjang lain. Hal inilah yang menjadikan realisasi Kurikulum 2013 tidak sesuai yang direncanakan dan diidealkan.


Referensi:
Diana Nurhavina, ‘Labeling siswa SMA Negeri Jurusan Bahasa di Kota Surabaya’ (Jurnal Biokultur Vol.11, Number 1, 2022 hlm. 15-27)
Ki Darmaningtyas, Memerdekakan Kurikulum Merdeka, (Kompas, 14 Maret 2022
Bintang Masnola, Penjurusan SMA di Indonesia sebagai MAsalah Sosial, (Kompasiana)
Yandi Chidlir, Mengenal dan Menerapkan Teori Labelling dalam Menciptakan Lingkungan Belajar yang Menyenangkan, (guruinovatif.id)


Penulis: Muhammad Taufiqurrohmanul Hadi (XI IAI 1) dan Abdur Rahman (XI IPA 1)
Editor: Ahmad Fahmi ASD

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.