RUU APP; Musibah apa Barokah?




"Misi utama kita adalah bukan menjadikan muslim pindah agama Kristen, tapi mengeluarkan seorang muslim dari ikatan akhlak islami. Tujuan kita adalah mempersiapkan generasi baru yang jauh dari Islam, generasi muslim yang sesuai dengan kehendak kaum penjajah, generasi yang pemalas dan hanya mementingkan hawa nafsunya saja."

(Statemen dikeluarkan oleh Samuel Swimmer, Direktur Organisasi dan Misi pada Konferensi Missionaris di Quds pada tahun 1935).


Malu aku menjadi bangsa Indonesia!!! Betapa tidak, bangsa kita yang semenjak dahulu terkenal selalu menjunjung adat ketimuran dengan wujud menjaga kesopanan dalam perilaku, ungkapan, kata maupun pakaian. Dalam sebuah riset bangsa kita dinobatkan sebagai surga pornografi kedua setelah negara Rusia. Sebuah prestasi yang semestinya kita tangisi (hik..hik..). Pengaruh yang paling besar dengan adanya pornografi dan pornoaksi adalah meningkatnya budaya pergaulan bebas (free sex). Beberapa lembaga penelitian dan LSM telah melakukan riset yang menunjukkan bahwa budaya free sex telah merambah siswa SMA. Survei PILAR PKBI Jawa Tengah pada bulan September 2002 terhadap 1.000 mahasiswa di Semarang menunjukkan gaya pacaran yang mengarah ke seks bebas. Dalam aktivitas pacaran, 76% di antaranya pernah melakukan intercourse (hubungan intim). Tempat intercourse, 32% di kontrakan/kos, 29% di rumah, 5% di hotel dan 3% di tempat terbuka. Adapun alasan melakukan intercourse, 43% mengaku sebagai ungkapan cinta, 30% kebutuhan biologis, 15.5% sekadar coba-coba (BM Asti, Remaja di Rantai Birahi, Pustaka Ulumuddin, 2004, hlm. 78).


Survey LPM Manunggal Undip Semarang pada Februari 2003 lebih meningkat lagi. Dalam berpacaran, 15.58 dari 545 responden mengaku melakukan intercourse. Poling LSM Sahara Indonesia seperti dilansir majalah Sabili (Edisi 3 Juli 2003) lebih heboh lagi, di mana 44.8 mahasiswa dan remaja Bandung telah melakukan seks pranikah.


Terlepas dari benar ataupun tidaknya survey tersebut, setelah dibukanya kran kebebasan pers, betapa mudahnya kita mengakses hal-hal berbau porno, baik lewat TV, radio ataupun media informasi lainnya. Yang menjadi problem masyarakat kita, terlebih pemuda, cenderung kurang cerdas menerima, memahami. Kemudian belum bisa memilih info yang mereka konsumsi. Al Qur’an telah memberikan penjelasan agar kita selalu berpegang pada prinsip, menjadikan diri kita dapat mencari jati diri kita. Dalam QS Al-An’am: 150 yang artinya. “Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami, dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, sedang mereka mempersekutukan tuhan mereka.”


Secara tersirat, firman Allah ini melarang kita untuk ikut-ikutan, latah, meniru orang-orang yang tidak beriman. Kita sudah memiliki prinsip sendiri, aturan dan budaya yang sesuai dengan syari’at Islam. Sehingga dalam rangka Sadduz Zara’I, Kyai Haji Ahmad Umar Abdul Mannan, Solo, melarang keras anak cucunya membeli TV. Hal ini beliau lakukan karena mengingat betapa besarnya pengaruh media massa dalam masyarakat.


Fitnah Kebebasan Pers


Pornografi yang makin subur di era reformasi merupakan sesuatu yang mengundang keprihatinan yang sangat mendalam. Pornografi merupakan fitnah kebebasan pers yang berlebihan dan disalahartikan. Di era reformasi ini, kebebasan pers yang seharusnya bisa menjadi Social Control, malah dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang bertujuan mengambil keuntungan (profit oriented) dengan menyebar cerita-cerita gosip, desas-desus, bahkan yang lebih parah lagi memunculkan majalah-majalah yang berbau porno, seperti majalah X-HOT, Lipstik, Extra, PlayBoy.


Upaya pemerintah untuk meminimalisir dampak negatif dari pornografi dan pornoaksi adalah mencoba membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP) yang dirancang oleh anggota DPR. Dengan munculnya RUU APP itu telah menimbulkan kelompok yang pro dan kontra. Kelompok yang pro RUU APP adalah para Ulama, Kyai, budayawan dan agamawan. Sedangkan kelompok yang kontra RUU APP adalah para seniman yang menganggap bahwa RUU APP tersebut telah memasung kreatifitas seni mereka. Sehingga mereka tidak bisa berekspresi dan yang lebih penting, mereka tidak akan mendapatkan keuntungan dari penjualan “produk pornografi”.


Menurut penulis, pro dan kontra RUU APP itu akan dapan menimbulkan musibah apa barokah…? Kelompok pro RUU APP akan mendapat barokah karena mereka dan anak cucunya akan selamat dari fitnah pornografi dan pornoaksi yang dalam Islam telah ditentang oleh Al Qur’an dan Hadis. Sedangkan kelompok kontra RUU APP akan mendapat musibah karena mereka tidak akan mendapat keuntungan dari produk pornografi itu. Wallahu ‘alam bi al shawab. Cekap semanten, matur nuwun.


Penulis: H. Agus Shofie Al Mubarok
Khodimul Ma’had Sirojuth Tholibin, dan sedang menyelesaikan studi di ponpes Lirboyo, Kediri.


Artikel ini pernah terbit di Buletin Kristal Edisi Mei 2006
Pimpinan Umum: Waka Kesiswaan; Pimpinan Redaksi: A. Labib, SQ., Abdul Syakur, S.Pd.I; Sekretaris: Khoirul Huda; Tata Usaha: A. Munawir, Ap.Com; Editor: Sujadhi, S.Pd.; Dewan Redaksi: M. Verry Yantho, Yazid Thofur B, Yulia Trisnawati, Siti Rahmawati; Reporter: Eka Fityany, Siti Nur Rahmah, M. Tajus Syarof, Syamsul Maulana; Artistik: M. Tanwirul Quluby, A. Musonef, Nur Fahimah, Ulfi Azizah R; Distributor: Durrotun Nafi’ah, Ervina Nurul K, Muhammad Munif, Ulin Nuha.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.