KH. Hasyim Asy’ari, Sang Pencetus Resolusi Jihad
Lahirnya Resolusi Jihad
bermula dari keinginan Presiden Soekarno untuk meminta fatwa kepada KH. Hasyim
Asy’ari mengenai hukum membela tanah air dari ancaman kekuatan asing. Kemudian Presiden
Soekarno mengirimkan utusan khusus kepada KH. Hasyim Asy’ari.
KH. Hasyim tidak
langsung menjawab permintaan Presiden Soekarno, tetapi beliau memanggil Kyai
Wahab Hasbullah, Kyai Bisri Syamsuri, dan para kyai se-Jawa dan Madura untuk
bermusyawarah. Sidang dilakukan pada tanggal 21–22 Oktober 1945 di kantor PBNU
Surabaya. Pertemuan tersebut juga dihadiri oleh panglima Hizbullah, Zainal
Arifin. Akhirnya para Kyai bersepakat untuk mengeluarkan Resolusi Jihad.
Resolusi jihad yang
dikeluarkan oleh para ulama berisi dua kategori hukum. Pertama, hukum membela
tanah air dari ancaman kekuatan asing adalah fardlu ain bagi
setiap mukallaf yang berada dalam radius 94 KM dari episentrum penduduk
penjajah. Kedua, hokum membela tanah air dari ancaman kekuatan asing adalah fardlu
kifayah bagi warga yang berada di luar radius tesebut. Namun dalam koindisi
darurat, statusnya dapat dinaikkan menjadi fardlu ain.
Di samping Resolusi
Jihad tersebut, KH. Hasyim secara pribadi juga mengeluarkan fatwa jihad
lainnya. Pertama, menyerukan kepada kaum muslimin untuk terus jihad
melawan Belanda. Kedua, melarang umat Islam menunaikan haji dengan
menggunakan kapal laut Belanda.
Riwayat Keluarga
KH. Mohammad Hasyim
Asy’ari lahir pada 24 Dzulqo'dah 1287 H bertepatan pada tanggal 14 Februari
1871. Kyai Hasyim adalah putra ketiga dari 11 bersaudara dari pasangan
KH. Asy’ari dan Nyai Halimah. Dari Nasab Ayahnya, KH. Hasyim Asy’ari
memiliki garis keturunan sampai dengan Rasulullah. KH. Hasyim Asy’ari wafat
pada 25 Juli 1947. Beliau dimakamkan di komplek pesantren Tebuireng, Jombang Jawa Timur.
KH. Hasyim Asy’ari
menikah dengan Nyai Khodijah, putri dari Kyai Ya’qub Sidoarjo. Yang tak lain
adalah gurunya sendiri. Lalu beliau menikah dengan Nyai Nafiqoh,
putri dari Kiyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan, Madiun. Dengan Nyai
Nafiqoh, Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak. Kemudian Kyai Hasyim menikah kembali
dengan Nyai Masruroh, putri dari Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren
Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan tersebut, Kyai Hasyim dikaruniai 4
anak.
Riwayat Pendidikan
Sejak kecil, Kyai Hasyim
Asy’ari sudah belajar dasar-dasar agama dari ayahnya, KH. Asy’ari dan
kakeknya, Kyai Usman (Pengasuh Pesantren Nggedang, Jombang). Ketika usia
menginjak 15 tahun, Kyai Hasyim mulai berkelana menimba ilmu di berbagai
pesantren, di antaranya adalah Pesantren Wonokoyo,
Probolinggo, Pesantren Langitan, Tuban, Pesantren Trenggilis, Semarang,
Pesantren Kademangan, Bangkalan dan Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di Pesantren Siwalan, Sidoarjo, yang diasuh oleh Kiyai
Ya’qub, Kyai Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan.
Cukup waktu lima
tahun bagi Kyai Hasyim untuk menyerap ilmu di Pesantren Siwalan.
Kecerdasan dan kealiman yang dimiliki oleh Kyai Hasyim, membuat Kyai Ya’qub
tertarik kepada beliau. Akhirnya, Kyai Ya’qub menikahkan salah satu putrinya
yang bernama Khodijah dengan beliau. Setelah beliau menikah dengan Khodijah,
beliau berangkat ke Mekkah untuk menimba ilmu. Setelah 7 bulan, beliau pulang
ke Tanah Air. Ketika itu beliau mendapati istri dan anaknya telah meninggal
dunia. Kemudian Pada tahun 1893, Kyai Hasyim berangkat
kembali ke Tanah Suci. Dan sejak itu Kyai Hasyim menetap di
Makkah selama 7 tahun.
Sepulang dari Makkah, KH. Hasyim
Asy’ari tidak langsung mendirikan Pondok Pesantren. Beliau ikut mengajar
di pesantren milik kakeknya, Kiai Usman. Tak lama kemudian, beliau membeli
sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh, Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter
sebelah barat Pabrik Gula Cukir. Di daerah ini, beliau mendirikan sebuah
bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal. Dari
tratak kecil inilah Pesantren Tebuireng mulai tumbuh. Kyai
Hasyim mengajar dan shalat berjamaah di tratak bagian
depan. Sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal.
Patuh dan Taat Kepada Guru.
Ada satu kisah teladan dari KH. Hasyim
Asy’ari. Peristiwa ini terjadi ketika KH. Hasyim nyantri dengan KH. Kholil
Bangkalan. Kyai Hasyim mendapat amanah dari gurunya, KH. Kholil untuk merawat
sapi dan kambing. Setiap hari Kyai Hasyim membersihkan kandang dan mencari
rumput.
Suatu hari, ketika beliau telah
memasukkan sapi dan kambing ke kandangnya, beliau langsung mandi dan shalat Ashar. Ketika perjalanan menuju
kamar mandi, Kyai Hasyim melihat gurunya, Kiyai Kholil termenung sendiri. Seperti
ada sesuatu yang mengganjal di hati sang guru. Maka, Kyai Hasyim memberanikan
diri untuk bertanya kepada Kiyai Kholil.
"Ada apa wahai guru, kok
kelihatan sedih?" tanya
Kiyai Hasyim kepada Kiyai Kholil Bangkalan.
"Bagaimana tidak sedih, wahai
muridku. Cincin pemberian istriku jatuh di kamar mandi. Lalu masuk ke lubang
pembuangan akhir (septic tank)," jawab
KH. Kholil dengan nada sedih.
Mendengar jawaban sang guru, Kyai
Hasyim segera meminta izin untuk membantu mencarikan cincin yang jatuh itu dan
oleh KH. Kholil mengizinkan. Langsung saja Kyai Hasyim masuk ke kamar mandi dan
membongkar septic tank. Semua yang ada di dalamnya dikeluarkan oleh Kyai
Hasyim. Setelah dikuras seluruhnya, badan Kiyai Hasyim penuh dengan kotoran. Akhirnya
usaha yang dilakukan Kyai Hasyim membuahkan hasil. Cincin milik gurunya
berhasil ditemukan.
KH. Kholil sangat bahagia atas
pencapaian Kyai hasyim menemukan cincinnya. Kemudian KH. Kholil berkata, "Aku
ridho padamu wahai Hasyim, aku doakan dengan pengabdianmu dan ketulusanmu,
derajatmu ditinggikan. Engkau akan menjadi orang besar, tokoh panutan, dan
semua orang cinta padamu."
Demikianlah doa yang keluar dari KH.
Kholil Bangkalan. Tiada yang memungkiri bahwa di kemudian hari, Kyai Hasyim
menjadi ulama besar.
Mendirikan Nahdlatul Ulama
Pada tanggal 16
Rajab 1344 H bertepatan 31 Januari 1926 M, KH. Hasyim Asy’ari mendirikan
organisasi Nahdlatul Ulama, yang artinya kebangkitan ulama. Beliau dipercaya
sebagai Rais Aam pertama atau Rais Akbar. Awalnya
sekitar tahun 1924, KH Abdul Wahab Chasbullah menggagas pendirian
Jam’iyyah yang langsung disampaikan kepada Kiai Hasyim Asy’ari untuk meminta
persetujuan. Namun, Kiai Hasyim tidak lantas menyetujui terlebih dahulu sebelum
ia melakukan sholat istikharah untuk meminta petunjuk kepada Allah SWT.
Sikap bijaksana dan kehati-hatian Kiai Hasyim dalam menyambut permintaan Kiai Wahab juga dilandasi oleh berbagai hal, di antaranya posisi Kiai Hasyim saat itu lebih dikenal sebagai Bapak Umat Islam Indonesia (Jawa). Kiai Hasyim juga menjadi tempat meminta nasihat bagi para tokoh pergerakan nasional. Peran kebangsaan yang luas dari Kyai Hasyim Asy’ari itu membuat ide untuk mendirikan sebuah organisasi harus dikaji secara mendalam. Hasil dari istikharah Kiai Hasyim Asy’ari dikisahkan oleh KH As’ad Syamsul Arifin, Situbondo. Kiai As’ad mengungkapkan, petunjuk hasil dari istikharah Kyai Hasyim Asy’ari justru tidak jatuh di tangannya untuk mengambil keputusan, melainkan diterima oleh KH Cholil Bangkalan. Kiai As’ad yang ketika itu menjadi santri Mbah Cholil berperan sebagai mediator antara KH. Kholil dan Kyai Hasyim.
Ada dua petunjuk yang harus
dilaksanakan oleh Kiai As’ad muda sebagai penghubung atau washilah untuk
menyampaikan amanah Mbah Cholil kepada Kyai Hasyim. Petunjuk pertama, pada
akhir tahun 1924 Kyai As’ad muda diminta
oleh Mbah Cholil untuk mengantarkan sebuah tongkat ke Tebuireng. Penyampaian
tongkat tersebut disertai seperangkat ayat Al-Qur’an Surat Thaha ayat 17-23
yang menceritakan Mukjizat Nabi Musa as.
Petunjuk kedua yaitu ketika Kyai
As’ad muda diberi amanah Kyai Cholil untuk menyampaikan tasbih kepada KH. Hasyim di Tebuireng.
Setibanya di Tebuireng, Kyai As’ad muda menyampaikan tasbih yang dikalungkan
oleh dirinya dan mempersilakan KH. Hasyim Asy’ari untuk mengambilnya
sendiri dari leher Kyai As’ad muda. Bukan karena tidak ingin mengambilkannya untuk
Kyai Hasyim Asy’ari, melainkan Kyai As’ad muda tidak ingin menyentuh tasbih sebagai
amanah dari KH Cholil Bangkalan kepada KH Hasyim Asy’ari. Sebab itu, tasbih
tidak tersentuh sedikit pun oleh tangan Kyai As’ad muda selama berjalan kaki dari
Bangkalan ke Tebuireng.
Setelah tasbih diambil, Kiai Hasyim
Asy’ari bertanya kepada Kyai As’ad muda: “Apakah ada pesan lain lagi dari
Bangkalan?” Sontak Kyai As’ad muda hanya menjawab: “Ya Jabbar, Ya Qahhar.”
Dua Asmaul Husna tarsebut diulang oleh Kyai As’ad muda hingga tiga kali sesuai pesan
Sang Guru. Setelah mendengar lantunan itu, Kiai Hasyim Asy’ari kemudian
berkata, “Allah SWT telah memperbolehkan kita untuk mendirikan jam’iyyah.”
Riwayat tersebut merupakan salah
satu tanda atau petunjuk di antara sejumlah petunjuk berdirinya Nahdlatul Ulama
(NU). Akhir tahun 1925, Kyai As’ad muda kembali diutus Mbah Cholil untuk
mengantarkan seuntai tasbih lengkap dengan bacaan Asmaul Husna Ya Jabbar, Ya
Qahhar ke tempat yang sama dan ditujukan kepada KH. Hasyim Asy'ari.
Karya
Beliau memiliki
beberapa karya kitab di antaranya yaitu:
- At-Tibyan fin Nahyi ’an Muqatha’atil Arham wal Aqarib wal Ikhwan
- Muqaddimah Al-Qanun Al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul Ulama
- Risalah fi Ta'kid Al-Akhdzi bi Mazhab Al-Aimmah Al-Arba’ah
- Arba'ina Hadisan Tata'allaqu bi Mabadi' Jam'iyyat Nahdlatul Ulama
- Adab Al-'Alim wa Al-Muta'alim fi Ma Yanhaju Ilaih Al-Muta'allim fi Maqamati Ta'limihi
- Risalah Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Hadis Al-Mauta wa Syuruth As-Sa’ah wa Bayani Mafhum As-Sunnah wa Al-Bid'ah
Penulis: Ahmad Nihalulloh
Editor: Faatih Ni'mal Mazruu'ii
Tidak ada komentar: