Santri, NU dan Tahun Politik
Pada perayaan Hari Santri Nasional (HSN) tahun ini terasa berbeda dengan perayaan HSN tahun lalu. Hal ini tidak lepas dari momentum perayaan HSN bersamaan dengan persiapan menghadapi tahun politik. Jika kita melihat kebelakang, HSN sendiri juga merupakan hasil dari kebijakan politik pasca terpilihnya Presiden Jokowi tahun 2014.
Pada
pagelaran pemilu tahun depan, kita akan melihat dua cawapres yang berlatar
belakang santri, yaitu Cak Imin (Abdul Muhamin Iskandar) sebagai cawapres Anis
Basweddan dan Moh. Mahfud MD sebagai cawapres Ganjar Pranowo. Pada dasarnya
suara santri dalam tiap pemilu selalu menjadi daya tarik tersendiri karena
memiliki jumlah masa yang besar. Jika kita melihat dua cawapres yang akan maju
dalam pilpres tahun depan, maka sama-sama memliki latar belakang NU. Jika
Mahfudz MD mewakili nahdliyyin dari pulau madura maka Muhaimin Iskandar
mewakili nahdliyyin dari Jombang.
Suara
dari ormas NU memang tidak bisa dianggap sebelah mata. Dengan jumlah anggota nahdliyyin
yang mencapai lebih dari 100 juta penduduk Indonesia, maka sering kali beberapa
tokoh NU digandeng guna mendongkrak suara saat pemilu. Kita lihat saja dalam
perhelatan Pemilu tahun 2019, KH. Ma'ruf Amin ditunjuk oleh Jokowi untuk
menjadi cawapres pendampingnya. Nama besar KH. Ma'ruf Amin pada saat pemilu
setidaknya bisa mendongkrak dukungan kaum Nahdliyyin untuk memilih Jokowi saat
pilpres tahun 2019.
Sayangnya
sampai sekarang NU dengan jumlah massa yang besar, masih belum mampu
memunculkan tokoh nasional yang siap dan pantas maju sebagai Capres, bukan
hanya sebagai cawapres, yang hanya untuk mendongkrak suara Capres. Beberapa
kali pemilu dan pilkada memang berhasil mengantarkan kaum santri dalam gelagah
dunia politik, tetapi sayangnya belum sampai kepada arah politik nasional. Kita
masih menunggu kiprah yang jauh lebih besar dari kaum nahdliyyin, dengan jumlah
masa yang besar, seharusnya potensi NU juga lebih besar untuk bisa menentukan
arah kebijakan nasional kedepannya.
Dalam
sejarah bangsa, kita memang memiliki KH. Hasyim Asy'ari yang mampu menggerakkan
masa yang besar saat kedatangan sekutu di Surabaya dengan Resolusi Jihad. Kita
juga mengenal KH. Wahid Hasyim salah satu tokoh BPUPKI yang berhasil merumuskan
dasar Negara. Kita juga mengenal KH. Abdurrahman Wahid, Presiden pertama dari
kalangan nahdliyyin. Tokoh-tokoh nasional dari NU tersebut memamg memiliki
kiprah yang cukup besar dalam ranah kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi
kita sering terlalu hanyut dalam romantisme sejarah NU masa lampau sehingga
kita lupa dengan keadaan NU sekarang ini.
Pada
dasarnya kita sebagai warga nahdliyyin boleh saja melihat masa lalu, tetapi
jangan sampai masa lalu membuat kita malah jalan di tempat. Karena terlalu
asyik melihat kebelakang sehingga kita lupa bahwa arah kehidupan kita adalah
kedepan. Mari kita mulai sejarah NU yang baru di abad ke-2 ini. NU harus bisa
lebih dalam melakukan transformasi nilai-nilai budaya, politik dan ekonomi agar
NU kedepannya tidak hanya besar dalam jumlah kuantitas tapi juga kualitas.
Selamat
Hari Santri.
Wallahu'alam
bishshowab.
Penulis: Kholid Ibnu Sayuti
(Guru Sejarah MATU)
Tidak ada komentar: