Tiga Arahan Ketum PBNU dalam Rakernas LP Ma’arif NU

Gus Yahya menyampaikan arahan dalam Rakernas LP Ma'arif. Dok: Kristal

Jakarta, kristalmedia.net – LP Ma’arif PBNU menggelar Rapat Kerja Nasional (Rakernas) selama dua hari, Senin-Selasa (20-21/11/2023) di Hotel Yuan Garden Pasar Baru, Jakarta. Dalam Rakernas tersebut dilaksanakan tiga agenda penting, yaitu: evaluasi program kerja, penyusunan program kerja yang inovatif dan kolaborasi dengan lembaga lainnya.


“Dalam rakernas ini dilaksanakan tiga agenda penting, dan akan dilakukan peluncuran aplikasi e-maarif,” ungkap Bapak Prof. Dr. Muhammad Ali Ramdhani, Ketua LP Ma’arif PBNU.


Rakernas merupakan agenda tahunan LP Ma’arif PBNU. Pada tahun ini, Rakernas dihadiri oleh semua pengurus LP M’ararif PBNU dan perwakilan pengurus wilayah di seluruh Indonesia. KH. Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum PBNU turut hadir dalam Rakernas tersebut untuk memberikan arahan kepada peserta Rakernas.


Dalam arahannya, Gus Yahya-sapaan akrab KH. Yahya Cholil Staquf, menyebut jika 22 ribu sekolah/madrasah Ma'arif yang ada di seluruh Indonesia, harus dijalin dalam satu Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) NU. Sistem tersebut, menurut Gus Yahya, harus memuat tiga komponen penting, yaitu: desain Sisdiknas NU yang valid, kebijakan berdasarkan arah gerak zaman dan pendidikan rohani untuk peserta didik.


Desain Sisdiknas NU yang Valid


LP Maa’rif sebagai lembaga yang diberi amanah mengelola sekolah dasar dan menengah di lingkungan NU harus memiliki desain Sisdiknas NU yang valid. “Sistem pendidikan ini harus disesuaikan dengan karakteristik dan dinamika yang ada di sekolah,” ungkap Gus Yahya. “Sistem seperti ini, tulang punggungnya adalah birokrasi,” lanjut Pengasuh Ponpes Raudlatuth Thalibin, Rembang ini.


Membuat Sisdiknas NU memerlukan waktu yang tidak sebentar dan memerlukan tata kelola birokrasi yang baik. “Seperti sistem Pendidikan yang ada sekarang ini, merupakan hasil karya pemerintah Orde Baru,” jelas Gus Yahya. “Di antara strategi untuk mewujudkan Sistem Pendidikan Nasional NU adalah diluncurkannya aplikasi E-Ma'arif,” ungkap Kiai kelahiran Rembang ini.


Kebijakan Berdasarkan Arah Gerak Zaman


Gus Yahya mengungkapkan, saat ini ada sebuah fenomena yang terjadi, yaitu masa depan datang menghampiri kita dengan cepat. Zaman seperti bergerak lebih cepat. Sesuatu yang dulu tidak pernah terfikirkan, sekarang ini semua serba ada.


“Saya merasa, dulu hidup berjalan santai, bisa menikmati hidup dengan tenang, tidak ada dorongan cepat-cepat menyelesaikan kuliah,” ungkap Gus Yahya. “Tahun 60an, yang punya telepon hanya Bupati dan kakek saya,” lanjutnya.


Adanya fenomena semacam ini, menurut Gus Yahya harus menjadi pertimbangan dalam tata kelola dunia pendidikan kita, khususnya di NU. Di antaranya adalah, kita tidak bisa menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran yang stagnan dan jumud. Pendidikan yang hanya berhenti pada satu model dan satu pola pendidikan saja. Karena kebijakan dalam pendidikan juga berkaitan dengan sektor lain, seperti ekonomi dan sosial budaya.


“Kalau kita ingin membawa pertimbangan ini (fenomena gerak zaman-red) ke dalam pendidikan kita, kita tidak cukup dengan perkembangan kognitif, tetapi juga mentalitas dan passion terhadap nasib anak didik yang harus kita siapkan untuk menghadapi masa depan dengan lebih kokoh,” jelas beliau.


Maka, dibutuhkan orang-orang yang bertanggung jawab atas kebijakan di sektor pendidikan, yang tidak hanya memahahami kondisi intelektual siswa, tetapi juga kondisi mental siswa. Selain itu, juga orang-orang yang lincah dalam mengelola kurikulum dan cepat melakukan antisipasi terhadap tren yang terjadi.


“Kalau kurikulum tidak adaptif, siswa ketika lulus nanti akan bingung, ternyata kehidupannya yang dia hadapi tidak sama dengan ilmu dan pelajaran yang diperoleh di sekolah,” ujar Gus Yahya.


Pendidikan Rohani menuju Ma’rifatullah


Nahdlatul Ulama didirikan dengan mengemban nilai-nilai fundamental, yang paling mendasar adalah nilai yang terkait dengan pendidikan, khususnya pendidikan rohani. NU memiliki tugas mendidik dan menyiapkan generasi muda menjadi ulama dan pemimpin di masa depan.


"Orang tidak bisa menjadi ulama kalau tidak dididik terlebih dahulu,” ungkap Gus Yahya.


NU memandang pendidikan sebagai ikhtiar paripurna yang komprehensif. Pendidikan bukan hanya soal kognitif, kapasitas intelektual dan transfer pengetahuan, tetapi juga ikhtiar untuk membangun kapasitas rohani peserta didik. “Di NU, mendidik tidak hanya mengajar, tetapi juga menyuwuk, mendoakan anak didik, agar kapasitas rohaninya berkembang,” jelas Gus Yahya. “Justru itu inti pendidikan NU,” tegasnya.


Hal ini juga berkaitan dengan sejarah mengapa LP Ma’arif diberi nama ma’arif, bukan ma’alim, atau tarbiyah. Gus Yahya menjelaskan, kata ma'arif berasal dari akar kata ‘arafa (mengenal), dengan bentuk plural ma'arif. Penggunaan kata ma'arif adalah untuk menyebut makrifatullah. Maka semua hal yang diajarkan kepada peserta didik, baik pengetahuan atau keterampilan, semuanya harus berhulu dan bermuara kepada makrifatullah. “Ini fundamental dan eksistensial,” tegasnya.


Mengutip Imam Al Ghazali dalam kitab Minhajul Abidin, diceritakan telah terjadi dialog antara Nabi Nuh dengan Allah subhanahu wa ta’ala seputar pertanyaan, apa dan bagaimana ilmu yg manfaat itu. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang memperkuat taqwallah, mendekatkan seorang peserta didik kepada tujuan dari keberadaannya, yaitu Allah subhanahu wa ta’ala.


Maka menjadi pekerjaan rumah bagi LP Ma’arif untuk membuat model pendidikan rohani yang cocok bagi peserta didik di sekolah/madrasah. Adanya pendidikan rohani inilah, yang akan membedakan pendidikan di NU dan lembaga lainnya. (FHM)

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.