Mengurai Krisis Adab dalam Dunia Pendidikan Kita
Ilustrasi adab. Dok. vinus.id
Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan.
Tujuan paripurna dari pendidikan adalah
membentuk manusia yang sempurna atau insan kamil. Hal ini tercermin
dalam ungkapan Tan Malaka di atas, tajamnya kecerdasan, kokohnya kemauan dan
halusnya perasaan. Dengan begitu akan lahir satu generasi yang tidak hanya
pandai tetapi juga memiliki budi pekerti yang baik.
Sejak dulu sampai sekarang, pendidikan masih
dianggap sebagai salah satu faktor penentu dalam majunya sebuah bangsa. Dengan
pendidikan akan tercipta sumberdaya manusia yang unggul, yang akan mampu membawa
bangsa tersebut kepada bangsa yang maju, baldatun thayyibatun wa rabbun
ghafur. Para pemimpin bangsa telah menentukan arah pendidikan Indonesia
dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 3. Bahwa proses pendidikan di
Indonesia dilaksanakan untuk menjadikan manusia Indonesia yang beriman,
bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, memiliki akhlak mulia dan beradab, berilmu,
mandiri serta bertanggung jawab.
Akan tetapi, proses pendidikan tidak selalu berjalan
mulus. Seringkali mendapatkan tantangan dan rintangan. Tidak terkecuali
pendidikan di Indonesia. Di antara tantangan terebut adalah banyaknya kasus
kekerasan, tawuran antar pelajar, kekerasan seksual dan kenalakan remaja
lainnya. Beberapa kasus tersebut tidak hanya melibatkan peserta didik saja,
tetapi juga guru sebagai pendidik. Menjadi bukti jika tujuan pendidikan di
Indonesia masih jauh panggang dari api.
Muhammad Akbar, dalam artikelnya “Krisis Adab Guru dan Murid” yang terbit pada portal online pakuanpos.com memaparkan
beberapa kasus kekerasan yang melibatkan siswa dan guru dalam dunia pendidikan
kita.
Akbar menulis, berdasarkan data International
Center for Research on Women (ICRW), pada tahun 2015 setidaknya sebanyak 84
persen peserta didik di Indonesia mengaku pernah mengalami kekerasan di
lingkungan sekolah, tentu data tersebut berkembang dari beberapa tahun terakhir
ini. Tak hanya itu, 75 persen siswa mengaku pernah melakukan aksi kekerasan di
lingkungan sekolah. Fakta lain mengungkapkan, pelaku kekerasan tidak hanya
dilakukan oleh murid, tetapi oknum guru atau petugas sekolah. Data yang sama
mengungkapkan 45 persen murid laki-laki di Indonesia mengaku pernah menerima
tindak kekerasan dari guru maupun petugas sekolah. Adapun, 22 persen siswa
perempuan menyebutkan pernah mengalami hal serupa.
Krisis moralitas terjadi dalam segala lini,
belum lagi dengan data-data terbaru yang dikeluarkan oleh Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) tentang kekerasan seksual yang menunjukkan begitu
hancurnya adab dan moralitas siswa dan guru. Dalam artikelnya, Akbar
menambahkan, berdasarkan pengawasan KPAI terhadap berbagai kasus kekerasan
seksual di dunia pendidikan sepanjang Januari-Juni 2019 dari pemberitaan di
media massa tergambar bahwa sekolah menjadi tempat yang tidak aman dan nyaman
bagi anak didik.
Seperti kasus yang terjadi di Pontianak Selata,
Kota Pontianak, Kalbar. Seorang siswa SD menjadi korban pencabulan gurunya
dengan modus diajari matematika. Perbuatan tidak senonoh tersebut
dilakukan pelaku sebanyak 5 kali di ruang kelas dan kebun dekat sekolah. Kepada
keluarganya, korban mengeluh sakit pada kemaluannya, kemudian menceritakan apa
yang dialaminya. Keluarga kemudian melakukan pelaporan terhadap guru ASN
yang berusia 47 tahun tersebut kepada polisi.
Kasus serupa ini baru terjadi di mana ada 3
guru sekaligus melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap 3 siswi (semuanya
berusia 14 tahun) di salah satu SMPN di Serang, Banten. Modus yang
dilakukan para guru yang menjadi pelaku tak terduga adalah “memacari korban”
yang notabene adalah muridnya sendiri, padahal ketiga guru tersebut sudah
beristri dan memiliki anak. Perbuatan dua guru Honorer dan satu guru ASN
tersebut dilakukan di lingkungan sekolah, seperti di kelas, di laboratorium
sekolah, bahkan di kebun belakang sekolah. Perbuatan tidak senonoh bahkan
dilakukan secara bersama-sama. Perbuatan ketiga guru tersebut terungkap
setelah salah satu anak korban hamil dan kepada orang tua korban menceritakan
semuanya.
Data di atas hanyalah sebagian dari sekian
banyak data-data kerusakan moral guru dan murid yang dipaparkan oleh Akbar.
Banyaknya kasus tersebut memberikan gambaran betapa pendidikan kita masih belum
mampu membentuk karakter peserta didik dan pendidik menjadi manusia yang
berbudi pekerti luhur, Justru yang terjadi adalah krisis adab dan rusaknya
akhlak para siswa dan guru.
Seharusnya melalui jalur
pendidikan, peserta didik dapat belajar dan
mengembangkan kemampuan sesuai bidang yang ditekuninya di sekolah. Ttetapi dengan adanya problem dalam dunia pendidikan di Indonesia yang banyak terjadi saat ini, seakan – akan membuat dunia
pendidikan menjadi dunia yang suram dan menakutkan.
Mengarusutamakan prinsip adab di atas ilmu
Adab
memiliki sebuah arti kesopanan, keramahan, dan kehalusan budi pekerti. Adab
erat kaitannya dengan akhlakul karimah atau perilaku terpuji. Ahli
bahasa juga kebanyakan menyebutkan bahwa adab merupakan kepandaian dan
ketepatan dalam mengurus segala sesuatu. Begitupun sebagian ulama lainnya juga
turut berpendapat bahwa adab merupakan suatu kata atau ucapan yang mengumpulkan
segala perkara kebaikan di dalamnya.
Mempelajari adab dan etika
membutuhkan proses waktu yang lama. Faktor terpenting yang mempengaruhi baik
buruknya perilaku yaitu lingkungan, baik keluarga ataupun masyarakat. Banyak ulama dalam memepelajari adab itu lebih
lama ketimbang mempelajari ilmu. Memiliki sedikit adab justru lebih penting
dari pada mempunyai banyak illmu. Orang yang
berilmu tinggi belum tentu beradab. Tetapi orang yang
beradab sudah pasti berilmu, karena mampu menempatkan ilmu tersebut sesuai
dengan semestinya.
Orang bijak mengatakan “jika engkau ingin
dihormati, maka belajarlah untuk menghormati orang lain.” Hal ini
juga berlaku dalam proses belajar mengajar di lingkungan sekolah, murid yang
notabene-nya sebagai penuntut ilmu seharusnya menghormati dan memuliakan guru
sebagai pengajar ilmu. Begitupun sebaliknya, guru sebagai pengajar juga harus mendidik muridnya dengan baik. Jika
sistem seperti ini berjalan dengan baik, maka akan berdampak baik pula terhadap
sistem belajar mengajar antara guru dan siswa di kelas.
Prinsip "adab di atas
ilmu" menekankan bahwa keberhasilan seseorang tidak hanya diukur dari
sejauh mana mereka memahami suatu subjek, tetapi juga sejauh mana mereka mampu
berinteraksi dengan orang lain dengan sopan, menghormati perbedaan, dan
mengaplikasikan pengetahuan mereka dengan bijaksana.
Diperlukan suri tauladan dari
guru dan orang tua
Seorang guru, selain memiliki
kompetensi pedagogik, profesional, dan sosial juga harus memiliki kompetensi
kepribadian. Kompetensi kepribadian bisa dimaknai juga sebagai suri
tauladan yang dimiliki dan ditampilkan oleh seorang guru dan akan diikuti oleh
peserta didik. Kompetensi ini yang perlu diperhatikan dan dikembangkan oleh
setiap guru, selain tiga kompetensi lainnya.
Tak hanya
itu, peran orang tua dan masyarakat
juga sangat menentukan kualitas dan keberhasilan menanamkan nilai-nilai adab
bagi peserta didik. Orang tua juga harus memberikan suri tauladan yang baik
kepada anak-anak mereka di rumah. Masyarakat juga harus mementuk lingkungan
yang baik. Sehingga baik di sekolah
maupun di rumah, peserta didik akan mendapatkan contoh yang baik.
Selain itu, membentuk
adab yang baik juga perlu mendapat dukungan dari pemerintah dan aparat penegak hukum.
Pemerintah harus bisa mengeluarkan kebijakan yang mendorong terciptanya adab
yang baik dan menjadi contoh yang baik bagi masyarakat. Sedangkan aparat penegah hukum harus bisa
memberikan jaminan keamanan dan rasa keadilan bagi para korban tindak kekerasan
di lingkungan pendidikan
Problematika lingkungan
pendidikan memerlukan
upaya bersama dari individu, keluarga, lembaga pendidikan, pemerintah serta
penegak hukum. Dengan kombinasi pendekatan ini, diharapkan dapat mengatasi
krisis adab di lingkungan pendidikan kita.
Diolah dari berbagai sumber
Reporter : A. Nihalulloh, M. Zulfarih Saputra
Editor : Fardan Arjab
Tidak ada komentar: