Jika Bumi Ini Fana’, Mengapa Harus Dilestarikan?
Pembangunan industri menimbulkan dampak positif dan negatif. Dampak positifnya, industri membuka lapangan kerja bagi masyarakat sehingga dapat memajukan dan membangun kesejahteraan daerah. Namun dampak negatifnya juga banyak. Di antaranya, rusaknya ekosistem lingkungan, menyusutnya lingkungan hijau, menipisnya lahan pertanian, dan lain sebagainya. Bahkan yang lebih parah jika tak ada upaya penanggulangan, bumi ini akan lekas hancur.
Di Pesisir Utara Jawa
Tengah contohnya, aktivitas industri mengancam eksistensi wilayah. Desa
Tambakrejo, Tanjung Mas Kota Semarang dan Desa Bedono, Sayung, Kabupaten Demak
terancam tenggelam karena mengalami langganan rob yang terjadi karena kenaikan
permukaan air laut akibat dari pemanasan global dan perubahan iklim, maupun karena
adanya pasang-surut air laut. Tidak hanya banjir rob, di daerah timur kota
Semarang dan Demak, banyak juga terjadi abrasi pantai dan penurunan tanah.
Mila Karmila,
pakar Lingkungan dan Tata Kota Universitas Islam Sultan Agung (Unissula)
Semarang mengatakan, pesisir Kota Semarang setiap tahunnya mengalami penurunan
tanah sekitar 10 sentimeter, disebabkan tanah pesisir merupakan tanah muda.
Jadi, meskipun tidak ada bangunan yang berdiri di pesisir kota Semarang, di wilayah
tersebut tetap akan terjadi
penurunan permukaan tanah. Selain tanah yang muda, pengambilan air tanah secara
masif juga menjadi penyebab penurunan tanah
di Kota Semarang, Demak, dan sekitarnya. Penggunaan air tanah
oleh industri-industri yang beroperasi di pesisir pantai utara Jawa
tidak sebanding dengan sumur bor milik masyarakat.
Selain kasus kerusakan lingkungan yang terjadi di pesisir pantai, pembangunan industri di pedesaan terutama di atas lahan perkebunan atau pertanian juga kian mengurangi lahan produktif. Pembangunan industri telah menghabiskan berhektar-hektar lahan dan tentunya berakibat pada hilangnya pohon-pohon yang berfungsi sebagai resapan air dan penyedia oksigen. Terkadang, pembangunan itu tidak disertai dengan adanya penanggulangan yang cakap, sehingga kerusakan lingkungan pun tidak bisa dihindari lagi.
Manusia dan Alam
Kerusakan lingkungan
bukan hanya disebabkan oleh fenomena alam, melainkan juga oleh manusia.
Al-Qur’an telah mewanti-wanti terkait ini melalui QS. Ar Rum [30] : 41:
ظهر الفساد فى البرّ والبحر
بما كسبت أيد النّاس .....
Menurut Al-Tabataba’i,
kata fasad dalam ayat di atas
memiliki makna kerusakan secara umum, kerusakan yang disebabkan fenomena bumi
maupun karena manusia. Sementara itu
Prof. Daniel Djuned menjelaskan, rusaknya bumi adalah karena ulah dari mutrafin, orang-orang yang tidak taat
terhadap risalah Nabi. Mutrafin memiliki
ciri-ciri: penguasa otoritas kekuasaan (mala’
al-aqwam), kelompok elit negeri, orang-orang rakus, tamak, pongah, boros
atau suka berlebihan (israf), dan
ambisius serta menghalalkan segala cara untuk memperoleh kekuasaan dan harta,
serta bermegah-megahan dengan rezeki haram.
Padahal secara
struktural, kedudukan manusia dan alam berada pada posisi yang setara dan
proporsional, yaitu sebagai ciptaan dan hamba Allah SWT. Keduanya menyatu dalam
satu ekosistem. Konsep kesetaraan dan proporsional tersebut berkaitan dengan
peran manusia dalam pemanfaatan dan pengelolaan bumi. Manusia dibolehkan
memanfaatkan dan mendayagunakan bumi tetapi dengan batasan tertentu. Manusia
harus tetap memperhatikan hak-hak asasi ekologis sesama komponen lingkungan.
Karena manusia bukanlah pemilik hakiki bumi, pemilik hakiki bumi adalah Allah
SWT (QS. Ar-Rahman [55]: 10 dan QS. Al-Baqarah [2]: 29).
M. Quraish Shihab
menjelaskan, relasi antara manusia dan bumi bukanlah relasi di antara penakluk
dan yang ditaklukkan, ataupun tuan dan hamba, akan tetapi relasi kebersamaan di
dalam ketaqwaan terhadap
Allah SWT. Manusia
dan bumi memiliki
posisi yang sama di hadapan Allah SWT, yaitu sebagai hamba.
Sama-sama beribadah kepada Allah, dan bertasbih mengesakan nama-Nya.
Bumi yang Fana’
Menelisik kasus-kasus
yang terjadi, bumi ini semakin mendekati kehancuran. Meski tidak dapat
dipungkiri bahwa bumi ini fana’.
Jadi, kerusakan dan kehancuran bumi adalah qadha’
Allah SWT yang tidak bisa dihindari. Namun, apakah lantas kita menjadi
hamba yang pasrah buta—hamba yang membiarkan kerusakan di bumi terjadi karena
mengetahui bumi ini fana’? Padahal
Allah telah memerintahkan manusia untuk menjaga bumi ini (QS. Al-A’raf [7]:
56). Kerusakan bumi yang terjadi menjadi tanggungjawab manusia.
Manusia adalah makhluk
yang punya posisi istimewa, yaitu sebagai abdun
(hamba) dan sebagai khalifatullah fii
al ardh. Sebagai hamba, manusia memiliki kewajiban untuk beribadah kepada Allah
SWT. Sedangkan sebagai khalifah, manusia memiliki
tugas untuk mengelola bumi.
Tugas Kekhalifahan harus dijalankan manusia berdasarkan prinsip kesetaraan.
Meskipun manusia memiliki tugas
mengolah bumi, bukan berarti bisa mengekspoitasi sesukannya.
Melestarikan bumi
harus didasari dengan nilai tradisi Islam, bahwa bumi dan seisinya (termasuk
manusia) adalah ayat-ayat Allah SWT. Oleh karena itu, menjaga bumi berarti menjaga dan merealisasikan perintah-Nya. Manusia juga
dilarang membuat kerusakan di bumi. Bahkan dalam batas tertentu, orang
yang melakukan kerusakan di bumi masuk dalam kategori kafir.
Jika merusak bumi adalah haram, maka melestarikan bumi adalah wajib.
Dalam tataran
praktisnya, kita mendorong diri kita sendiri untuk mulai berkomitmen menerapkan
gaya hidup yang peduli terhadap lingkungan. Selain itu, para Ulama juga perlu
mengarusutamakan hifdzul bi’ah atau
menjaga kelestarian bumi dalam ceramah-ceramahnya. Karena Ustadz, Ulama, atau
Kyai memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi di kalangan umat Islam.
Sedangkan pemerintah
sebagai pemangku kebijakan harus membuat tata aturan dan perundangan industri
yang ramah lingkungan. Misalnya aturan terkait pembuangan limbah industri yang
berpotensi memberikan dampak buruk bagi lingkungan. Diterapkanya kebijakan ramah
lingkungan tersebut diharapkan dapat meminimalisasi kerusakan lingkungan.
Wallahua’lambishshawwab.
Penulis: Fardan Arjab (XII IPA 1)
Esai ini menjadi Juara 1 Nasional Festival Ekologi Spiritual
yang diselenggarakan oleh LP Ma'arif NU dan PP LPBI NU tahun 2023
Referensi:
Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina)
M. Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Edisi kedua, Cet. II, (Bandung: Pustaka Mizan, 2014)
Ubaidillah Achmad, Islam Geger Kendeng dalam Konflik Ekologis dan Rekonsiliasi Akar Rumput, Cet ke-1 Mei (Jakarta: Prenadamedia, 2016)
Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al Qur’an (Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematik), Cet. 1 (Jakarta:Bulan Bintang, 1991)
Tidak ada komentar: