Harga Tembakau Naik, Petani di Desa Brabo Panen Untung
Ilustrasi petani panen tembakau. Sumber: gantanews.co |
Brabo, kristalmedia.net - Penjualan tembakau di desa Brabo, Grobogan mengalami peningkatan pesat di bulan Agustus sampai September. Dari mulai yang awalnya Rp 40.000 menjadi Rp 65.000 per kilogramnya. Bahkan di beberapa daerah lain seperti Kendal, harga tembakau mencapai Rp 70.000 per kilogramnya. Kenaikan harga jual tembakau ini memberikan dampak positif bagi perekonomian petani tembakau, khususnya di desa Brabo. Dan dapat dikatakan panen tahun ini merupakan panen besar-besar besaran bagi mereka.
“Panen tahun ini merupakan panen yang paling besar di desa Brabo,” tutur Zainal Rifa’i salah satu petani tembakau di desa Brabo.
Faktor Naiknya Harga Tembakau
Naiknya harga tembakau dipengaruhi dengan beberapa faktor. Zainal Rifa’i menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi naiknya harga di antaranya tembakau yang dipanen memiliki kualitas yang baik. Ada beberapa krteria yang menjadi syarat tumbuhnya tanaman tembakau, yakni suhu, curah hujan, dan kondisi tanah.
Disadur dari laman Wikipedia, suhu yang baik untuk pertumbuhan tembakau berada pada rentang 200C sampai 300 C dari mulai transplantasi hingga panen. Namun kondisi yang ideal untuk produksi daun tembakau dengan kualitas yang baik biasanya pada suhu 260 C dengan kelembapan 70-80%.
Selain itu, tembakau membutuhkan distribusi curah hujan tahunan antara 500 hingga 1.250 mm. Namun, kelebihan air dapat menyebabkan tanaman menjadi tipis dan bersisik. Untuk kondisi tanah, tembakau umumnya dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah. Akan tetapi tanah yang baik untuk pertumbuhan tembakau adalah tanah liat yang dalam dan berdrainase baik dengan sedikit atau tanpa risiko banjir. Meskipun tembakau toleran terhadap kekeringan, tembakau tumbuh optimum pada tanah dengan suhu 20 hingga 30 derajat dengan kapasitas pasokan air yang tinggi.
“Cuaca dan kondisi tanah di desa Brabo sangat mendukung untuk masa pertumbuhan tembakau,” jelas Zainal Rifa’i.
Kebanyakan tembakau yang ditanam di desa Brabo merupakan tembakau rakyat. Berdasarkan www.bolehmerokok.com tembakau rakyat merupakan tembakau yang penanamannya dan pengolahannya dilakukan oleh petani sendiri. Mbah Triah, petani desa Brabo yang lain, memaparkan proses penanaman tembakau sehingga memiliki kualitas yang baik, mulai dari penanaman bibit sampai waktu panen tiba.
Sebelum waktu pembibitan, sawah akan digemburkan terlebih dahulu, kemudian bibit yang didapat dari pengeringan bunga tembakau disebar secara merata, setelah pembibitan selesai, tunas tembakau yang sudah mulai tumbuh diberi pupuk dan disiram satu munggu sekali. Kemudian setelah dua bulan, tembakau sudah bisa dipenen. Biasanya petani di desa Brabo dapat memanen secara bertahap sampai 6 atau 7 kali panen.
“Selain perawatan tersebut, cuaca panas yang terjadi beberapa bulan terakhir juga sangat berpengaruh dalam masa-masa pertumbuhan tembaku untuk mendapatkan kualitas tembakau yang sempurna,” jelas Mbah Triah.
Kualitas tembakau yang baik bisa dilihat dari beberapa ketentuan. Zainal Rifa’i memaparkan, ketentuan-ketentuan baiknya kualitas tembakau bisa dilihat dari warna hijau daun tembakau. "Warna daun tembakau yang baik itu hijau kekuningan tapi tidak layu. Selain itu juga dilihat dari ketebalan dan lebarnya daun, serta tingkat kelengketan kulit tembakau,” ungkap Zainal.
Petani Brabo Panen Untung
Dampak yang dirasakan oleh para petani tembakau di desa Brabo sangat signifikan. Pasalnya kenaikan harga tersebut baru terjadi di tahun 2023 ini sehingga para petani merasa sangat untung. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, harga tembakau selalu mengalami fluktuasi dan cenderung murah.
Zainal Rifa’i dan Mbah Triah menuturkan, keuntungan panen tembakau kali ini naik dua kali lipat dari harga tahun sebelumnya. Sehingga pendapatan dari penjualan tembakau dapat menutupi modal yang dikeluarkan untuk biaya operasional pertanian. Rata-rata petani dapat mengambil keuntungan hingga mencapai puluhan juta rupiah, oleh karena itu panen tahun ini merupakan panen yang menguntungkan bagi mereka.
Akan tetapi, naiknya harga tembakau tidak memengaruhi harga jual rokok, yang cenderung tetap. Taufiqurahman sebagai perokok merasa naiknya harga tidak berpengaruh dengan penjualan rokok, sehingga ia tidak merasa keberatan dalam membeli rokok.
Politik Harga Tembakau
Sebelumnya, harga tembakau pernah mengalami naik dan turun pada tiga puluh tahun silam. Naik turunnya harga tersebut dipengaruhi oleh impor dan ekspor daun tembakau Indonesia. Berdasarkan sumber dari www.navari.org bahwa Sejak tahun 1990, Indonesia mulai melakukan impor tembakau. Saat itu, produksi dalam negeri yang berjumlah 150 ribu ton lebih dirasa tak mencukupi kebutuhan nasional. Alhasil, sebanyak 26 ribu ton lebih tembakau impor menyusup masuk ke pasar nasional.
Kebanyakan tembakau impor berasal dari Tiongkok, Brasil dan Amerika Serikat. Penyusupan impor tembakau tersebut merupakan momentum berbaliknya keadaan selama hampir puluhan tahun sebelumnya. Tercatat selama 20 tahun sebelum 1990, laju ekspor tembakau Indonesia selalu berada di atas impor. Pada 1991, angka impor menanjak hingga 28 ribu ton lebih. Sejak itu negeri kaya tembakau ini harus rela berbagi porsi dengan tembakau luar negeri.
Hasil penelitian Tobacco Control Support Center (TCSC) yang berisikan para ahli kesehatan masyarakat pada 2012, kala itu disimpulkan terjadi penurunan produksi daun tembakau secara global. Penurunan itu rupanya tercatat juga di Indonesia. Sayangnya di Indonesia, penurunan produksi daun tembakau terus terjadi hingga satu dekade berikutnya.
Produksi pada 1990 tercatat dalam data Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik mencapai 156 ribu ton, menurun terus hingga menjadi 135 ribu ton pada tahun 2010. Produktivitas lahan tembakau Indonesia sempat mengalami kenaikan pada tahun 2009 menjadi menjadi 867 kg/ha dari 649 kg/ha pada 1995. dan kembali menurun pada tahun 2010 menjadi 764 kg/ha.
Menurut TCSC, proporsi lahan pertanian tembakau dibanding total lahan pertanian di Indonesia semakin lama terus menurun. Pada 1990 proporsi lahan pertanian tembakau sebesar 0.52 persen dari luas seluruh lahan pertanian di Indonesia, sedangkan pada 2010 proporsinya tinggal 0,38 persen.
Dari luasan lahan 235.866 Hektare di 1990 menjadi 216 ribu hektare saja pada 2010.Terlihat dari data, selama 20 tahun terakhir, terdapat kecenderungan peningkatan impor daun tembakau. Berbanding terbalik dengan ekspornya. Pada 2010, Indonesia mengimpor 65 ribu ton lebih daun tembakau setara 48 persen dari total produksi, dan mengekspor 57 ribu ton atau sekitar 42 persen dari total produksi. Jika dilihat dari nilai net ekspor, selama 20 tahun (1990-2010) Indonesia selalu mengalami net ekspor negatif yang berarti lebih banyak mengimpor dibandingkan mengekspor (kecuali 1990, 1992 dan 1998).
Selama dua dekade ini, Indonesia mengekspor daun tembakau berkisar antara 11,1 persen hingga 47,3 persen dari total produksi. Namun juga mengimpor daun tembakau sebesar 17-48,4 persen dari total produksi.Dilihat dari rasio impor terhadap ekspor, terlihat bahwa selama 12 tahun Indonesia lebih banyak mengimpor daripada mengekspor, sedangkan 7 tahun sisanya Indonesia lebih banyak mengeskpor daun tembakau.
Walaupun nilai net ekspor negatif tersebut besarnya cenderung fluktuatif dari tahun ke tahun, akan tetapi lima tahun terakhir nilainya semakin negatif yang artinya Indonesia semakin banyak mengimpor daun tembakau yang pada 2010 jumlahnya mencapai USD183,077 juta.
Bukan hanya soal produksi, Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menilai terbitnya PP No.109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan juga merugikan petani tembakau dan terkesan membuka keran bagi impor tembakau sebesar-besarnya. Dalam aturan itu, tercantum pasal-pasal yang memberatkan petani, terutama yang mengatur soal standarisasi, tata niaga, diversifikasi produk dan kegiatan promosi juga periklanan produk hasil tembakau.
Aturan lain yang menghimpit perkembangan tembakau dalam negeri dan melonggarkan impor tembakau adalah Peraturan Pemerintah No 38 tahun 2000 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. Data Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) memaparkan, pada 2011 jumlah impor tembakau Indonesia mencapai 64,8 juta kilogram (kg) atau senilai US$ 376,3 juta. Jumlah ini terus meningkat tajam pada 2012 yang sebanyak 104,4 juta kg atau senilai USD503,2 juta dan 2012 sebanyak 133,8 juta kg atau senilai USD665,5 juta.
Penurunan impor baru terjadi pada 2013 yang menjadi 121,2 juta kg atau senilai USD627,3 juta. Namun jumlah itu pun masih terhitung besar. Posisinya sekarang lebih dari 50 persen kebutuhan tembakau untuk kebutuhan produksi rokok itu berasal dari impor. Kondisi diperparah dengan menurunnya produksi tembakau Virginia, varietas tembakau asal Amerika Serikat yang sesuai standar WHO, di Indonesia. Dengan adanya faktor-faktor tersebut harga tembakau bisa mengalami naik turun kapan pun baik itu menguntungkan petani ataupun merugikan mereka.
Reporter: M. Taufiqurrohmanul Hadi
Editor: Fardan Arjab
Tulisan ini merupakan hasil Pelatihan Jurnalistik Dasar yang diselenggarakan LPS Kristal pada 28-29 September 2023.
Tidak ada komentar: