Menjadi Santri, Menjadi Generasi Anti Brain Rot
Pada saat masuk kelas di hari pertama semester genap tahun ajaran 2024/2025, saya tidak langsung memulai dengan pembahasan materi pelajaran, tetapi meminta beberapa siswa untuk bercerita tentang pengalaman mereka selama liburan kemarin. Selain sebagai pemanasan di awal masuk, momen ini juga bisa menjadi ajang bagi siswa untuk melatih keahlian public speaking-nya.
Di
salah satu kelas, ketika saya meminta siswa untuk maju ke depan dan bercerita,
ada salah satu siswa yang menanggapi dengan celetukan, "Lelaki tidak
bercerita, Pak." Seketika satu kelas tertawa. Saya juga ikut tersenyum
simpul. Peserta didik yang belajar di sekolah ini memang laki-laki semua,
karena yang Perempuan ditempatkan di Lembaga tersendiri. Agaknya para siswa
terbawa oleh konten media sosial yang sedang viral atau FYP (For Your Page). Kalau
viral mengacu pada konten (video, gambar, atau cerita) yang menyebar luas
dengan cepat dan menjadi sangat populer dalam waktu yang relatif singkat di
seluruh platform, sedangkan FYP merupakan halaman pertama yang dibuka pengguna
saat mereka membuka aplikasi TikTok.
Celoteh
"Lelaki tidak bercerita" merupakan salah satu konten media
sosial, khususnya di reels Instagram dan TikTok yang sedang viral atau FYP.
Mungkin kita pernah menonton konten video semacam itu ketika sedang bermain
medsos. Misalnya, "Lelaki tidak bercerita, tiba-tiba sudah sampai
puncak Semeru," atau "Laki-laki tidak bercerita, tiba-tiba
naik Lamborghini," Juga ada "Laki-laki tidak bercerita,
tahu-tahu beli nasgor," dan "Laki-laki tidak bercerita, tahu-tahu
touring keluar kota," atau konten sejenisnya. Selain konten semacam
itu, juga ada konten lain yang tidak kalah viral, yaitu konten "kursi
Indomaret". Biasanya, konten ini berisi meme (foto/video) seorang
laki-laki yang duduk sendirian di kursi besi di depan Indomaret.
Konten
semacam itu dan konten lain, seperti video-video singkat yang memenuhi beranda
media sosial, terutama reels Instagram dan TikTok biasanya berisi konten sepele
dan berkualitas rendah. Jika kita terlalu banyak mengonsumsi konten semacam
itu, akan memberi dampak buruk terhadap psikologis kita, di antaranya adalah
terjadinya 'Brain Rot'.
Brain
Rot: Word of The Year 2024
Brain
Rot dinobatkan sebagai Word of The Year 2024 oleh Oxford University Press
(OUP). Meskipun secara harfiah berarti pembusukan otak, tetapi maksud dari
Brain Rot adalah menurunnya atau ketidakmampuan otak untuk menjalankan
fungsinya sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan oleh aktivitas kita yang
terlalu lama berhadapan dengan gawai dan mengonsumsi konten instan tadi.
Sebenarnya
Brain Rot bukanlah kosa kata baru. Kata itu muncul pertama kali pada tahun 1854 oleh
Henry David Thoreau dalam buku 'Walde'. Buku tersebut menceritakan
pengalaman Thoreau hidup sederhana di alam.
Thoreau
menggunakan kata Brait Rot untuk menggambarkan kecenderungan masyarakat zaman
itu yang meremehkan ide-ide kompleks dan menafsirkannya dengan serampangan agar
menjadi sederhana. Kondisi tersebut dinilai sebagai penurunan mental dan
intelektual masyarakat.
Pada
zaman sekarang, kata Brain Rot muncul kembali dengan pemaknaan berbeda yang dikaitkan
dengan teknologi. Kata ini mengalami kenaikan popularitas sejak tahun 2023
hingga 2024 sebanyak 230 persen, mengalahkan kata lain yang diajukan oleh tim
pakar OUP.
Jika
setelah menonton konten receh di media sosial, menghabiskan banyak waktu
menggulir (scrolling) media sosial tanpa tujuan dan tanpa berpikir mendalam kita
merasa tidak menikmati dan tidak mendapat apa pun, itu tandanya kita mengalami Brain
Rot. Di era media sosial ini, istilah Brain Rot menjadi popular karena adanya
kekhawatiran akan dampak dari mengonsumsi berlebihan konten-konten berkualitas
rendah.
Brain
Rot bisa menyasar ke semua kelompok usia, tidak hanya anak-anak saja atau orang
dewasa saja, meskipun dengan penyebab dan gejala yang berbeda. Brain Rot pada Anak-anak
bisa dilihat dari berkurangnya perhatian, kesulitan
berkonsentrasi mengerjakan tugas, sampai pada menurunnya prestasi akademis.
Sedangkan Brain Rot pada orang dewasa ditandai dengan mudah lupa, motivasi
rendah, mudah tersinggung, dan terlalu bergantung perangkat gawai untuk
hiburan.
Santri
Anti Brain Rot
Taufiq
Pasiak, seorang Ilmuwan Neurosains dan Perilaku mengatakan, bahwa Brain Rot
bisa disembuhkan dengan kemampuan otak kita sendiri yang disebut dengan neuroplastisitas,
yaitu kemampuan otak untuk mengubah struktur dan fungsinya sebagai respons
terhadap rangsangan dari luar, sehingga otak bisa sembuh setelah terkena Brain Rot.
CEO
Sekolah Otak Indonesia tersebut memberikan empat langkah yang bisa dilakukan
agar kita bisa pulih dari Brain Rot, yaitu: 1) detoksifikasi digital atau mengurangi
paparan terhadap layar dan penggunaan gadget, 2) latihan fokus seperti membaca
buku, 3) stimulasi otak untuk melakukan aktivitas yang menantang dan
meningkatkan konsentrasi seperti memecahkan teka-teki, 4) pilih konten
berkualitas yang memberi isight positif dan menambah wawasan.
Jika
mengacu kepada yang disampaikan oleh Taufiq di atas, santri yang belajar di
pondok pesantren memiliki potensi menjadi generasi anti Brain Rot. Mari kita
elaborasi.
Pertama, santri adalah seseorang yang
sangat berjarak dengan gadget, karena banyak pondok pesantren memiliki aturan
ketat terkait penggunaan gadget. Bahkan tidak sedikit pondok pesantren yang
melarang santri-santri mereka membawa gadget di pondok. Dan para santri
tersebut hanya akan terpapar gadget ketika mereka liburan di rumah.
Kedua, santri adalah seseorang yang sudah
terbiasa dengan buku, dalam hal ini adalah kitab-kitab klasik. Di pondok
pesantren ada metode pembelajaran bandongan dan sorogan yang bisa melatih fokus
dan konsentrasi santri. Dengan metode Bandongan, santri menyimak dan menulis keterangan
yang disampaikan oleh Ustadz/Kyai dalam membaca kitab. Sedangkan dalam sorogan, santri membaca kitab di depan seorang Ustadz/Kyai.
Ketiga,
dalam hal
stimulasi otak dan hal menantang santri sudah terbiasa dengan forum musyawarah
dan Bahtsul Masa'il. Selain metode bandongan dan sorogan, di beberapa pondok
pesantren juga terdapat sistem klasikal, biasanya dalam bentuk Madrasah Diniyah.
Untuk membantu mendalami materi pelajaran/kitab, terdapat forum musyawarah.
Dalam forum ini, ada beberapa santri yang bertugas membaca kitab, memberikan
penjelasan dan adanya sesi tanya jawab.
Aktivitas
menantang lainnya bagi santri adalah Bahtsul Masa'il, yaitu forum dialektika
antar santri dalam memecahkan berbagai macam problematika masyarakat, mulai masalah
keagamaan, ekonomi, sosial, budaya sampai politik. Sebelum mengikuti
Bahtsul Masa'il, para santri akan diberikan beberapa persoalan yang diringkas menjadi
beberapa butir pertanyaan. Dari pertanyaan yang diajukan tadi, kemudian para
santri mencari jawabannya dengan membaca kitab-kitab klasik maupun kontemporer.
Selain membaca mandiri, para santri juga berdiskusi dengan sesama teman santri
dalam usaha mencari jawaban pertanyaan tersebut. Setelah siap dengan beberapa
jawaban, argumentasi dan referensi, santri siap untuk mengikuti Forum Bahtsul
Masa'il.
Keempat,
dengan kompetensi
keilmuan yang telah dimiliki, santri juga perlu belajar tentang teknologi
informasi, khususnya perkembangan media sosial sekarang ini. Dengan kompetensi
keilmuan yang mumpuni dan pemahaman teknologi yang komprehensif, diharapkan
santri bisa memilah dan memilih konten media sosial yang berkualitas dan layak
untuk dikonsumsi. Tidak cukup sampai di situ, dengan bekal keilmuannya, santri
juga bisa menjadi produsen konten media sosial itu sendiri dengan menjadi kreator
konten. Dengan begitu, santri memiliki kontribusi dalam mengurangi konten receh
dan mengisinya dengan konten yang berkualitas.
Penulis:
Muafa Elba
Referensi:
1. "Brain
Rot", Istilah Kekinian akibat Kecanduan Konten Receh di Medsos
2. Mengenal Brain Rot yang Menjadi Word of the Year 2024 versi Oxford
University
3. 4 Cara Ampuh Mengatasi Brain Rot, Salah Satunya Detoks Digital
Tidak ada komentar: