Pesantren; Antara Manut Kiai dan Independensi Berpikir
Dalam
sistem pendidikan tradisional (salaf) pondok pesantren, kiai adalah figur
sentral yang mempunyai power dan otoritas penuh dalam menentukan suatu
kebijakan dalam ruang lingkup pondok pesantren yang diasuhnya (Atiqullah, 2010:
52). Pola kepemimpinan ini tidak diatur dalam sistem tertentu, melainkan
berdasarkan sisi psikologis dan spiritual yang menjadi prinsip dalam budaya
yang ada di pesantren. Hal ini didasari dengan anggapan bahwa kiai menjadi
sosok atau figur guru pesantren yang membawa barokah. Ditambah, setiap keputusan
dan pemikiran yang diambil oleh seorang kiai dinilai sebagai acuan berpikir dan
bertindak.
Kepemimpinan
saat ini mulai mengalami perubahan, baik perubahan dari pesantren salaf ke
pesantren modern atau bahkan sebaliknya. Perubahan ini sebagai respon seorang
kiai dalam menyesuiakan perkembangan zaman. Kepemimpinan kiai terbagi menjadi
dua model yakni kepempinan individual dan kolektif (Anwar, 2010).
Kepemimpinan
individual biasa disebut sebagai kepemimpinan yang karismatik dan
transformatif. Semakin karismatik seorang kiai, akan banyak masyarakat yang
datang untuk belajar, mengaji, mencari barakah, dan mengikuti fatwa dari kiai
tersebut. Model inilah yang biasanya membuat sebuah pesantren berkembang pesat
karena watak karismatik yang dimiliki oleh kiainya (Ramli, 2017: 127). Model
ini biasanya melekat pola kepemimpinan yang kultural (Faris, 2015). Hubungan
yang terjalin antara kiai dan santrinya berjalan secara natural dan tidak structural,
di mana seoarang kiai menggunakan kekuatan kepribadian dan karismanya untuk dijadikan
sebagai media pembalajaran moral agar menjadi suritauladan bagi santrinya.
Sedangkan
untuk kepemimpinan kolektif, kiai memiliki langkah kolaboratif untuk saling
memberikan masukan antara kiai dengan santri-santrinya. Kolaborasi ini bukan
berarti “setiap orang” dapat menyelesaikan tugasnya, melainkan yang terpenting
adalah semua yang dilakukan terwujud atmosfir kebersamaan dan saling mendukung
(al-jami’iyah al murasalah atau collegiality dan supportiveness) (Haidari
Amin dan El-saha Ishom, 2004: 22). Pola ini bermanfaat bagi keberlangsungan
pesantren karena beban yang dipikul oleh kiai akan lebih ringan, karena
ditangani banyak pihak sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya. Contoh
penerapan kepemimpinan kolektif bisa kita lihat pada pengelolaan Pesantren
Tebuireng. Pada tahun 1984 pimpinan pesantren tersebut mendirikan Yayasan
Hasyim Asy’ari yang di kemudian hari, yayasan ini yang mengurus seluruh
mekanisme pesantren secara kolektif (Imron, 1993: 45).
Dalam
konteks pendidikan karakter, model kepemimpinan secara individu ini lebih
efektif karena seorang kiai mengaplikasikan konsep akhlakul karimah secara
langsung untuk dijadikan figur teladan bagi santrinya. Sedangkan kepemimpinan kolektif
bisa digunakan dalam merumuskan kebijakan dan manajemen organsisasi pesantren,
yang mana sistem kepakaran berlaku untuk menetukan mana yang lebih baik
berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki para pihak.
Independensi
Berpikir Santri
Pola
kepemimpinan kiai sangat berpengaruh dengan pola pendidikan, pengembangan
mental dan kemampuan dalam berpikir seorang santri. Karena pada dasarnya, kepemimpinan
berdasarkan kharisma kiai dan kepemimpinan kolektif bisa dijadikan satu
kesatuan, menyeseuaikan konteks dan kebutuhan dalam penerapannya.
Mental
berpikir di sini berarti bahwa seorang santri berani mengambil keputusan di luar
konteks pengajaran yang diberikan kiai. Mereka bisa dengan bijak dan tidak
takut untuk mengambil keputusan jika suatu saat dihadapkan dengan problem yang
tidak mereka temui di pondok pesantren.
Sedangkan untuk kemampuan berpikir berarti ketepatan, kecermatan dan kesesuaian keputusan yang diambil dalam menilai atau bertindak atas peristiwa tertentu. Kemampuan ini didasari dengan pengajaran yang mereka dapat di pondok pesantren ditambah dengan rasionalisasi yang diolah oleh pemikiran mereka secara mandiri sehingga tepat dan relevan dengan masalah yang dihadapinya.
Selain
mental dan kemampuan dalam berpikir, independensi dalam berpikir juga harus
dibangun. Karena, seorang santri tidak selamanya berada di pondok pesantren. Maka,
nilai dan pelajaran yang didapat di pondok harus diterapkan secara kontekstual,
tidak hanya baku dan saklek dalam menanggapi peristiwa. Ketika seorang
santri menghadapi suatu problem dalam masyarakat, dalam menyelesaikan masalah
tersebut, seorang santri tidak cukup menggunakan ilmu yang ia dapat dari pondok
pesantren saja, tetapi juga perlu melihat latar belakang permasalahan tersebut secara
komprehensif.
Kita
bisa melihat bagaimana penafsiran Al Qur'an dilakukan oleh para ulama, selain
berdasarkan teks juga melihat konteks, yaitu melalui Asbab al Nuzul. Dalam menafsirkan
suatu ayat, yang harus dipahami tidak hanya pada teksnya saja, melainkan perlu
dilihat alasan kenapa ayat Al Quran itu turun dan masalah apa yang ingin
diselesaikan dalam ayat tersebut.
Seperti
halnya tentang adab (sopan-santun) yang berlaku sangat kental di lingkungan
pondok pesantren, yang selama ini diajarkan secara intens melalui pembelajaran
akhlak dan teladan kiai. Ketika hidup bermasyarakat, seorang santri harus bisa menempatkan
adab tersebut seuai dengan konteksnya.
KH. Bahauddin Nur Salim atau Gus
Baha’ menjelaskan bahwa sopan santun ada batasnya. Bahkan dalam konteks tertentu
ilmu lebih utama dari pada sopan santun (adab). Terkait hal ini Gus Baha
memberi contoh, jika seorang wanita keluar rumah harus bisa menempatkan sopan
santun dengan bijak, yaitu tidak mengumbar senyuman kepada orang lain. "Karena
jika sopan, senyum-senyum, orang yang sakit hati, hiperseks atau yang niat
mesum, wanita cantik yang senyum itu dianggap mau. Jadi yang wanita niatnya ramah,
tapi yang laki-laki menafsirkan mau," jelas pengasuh Ponpes LP3IA, Narukan, Rembang tersebut.
Maka dalam hidup bermasyarakat, adab (sopan santun) harus diaplikasikan sesuai dengan kebutuhan yang berlaku, tidak semua hal harus ditangggapi secara halus (menggunakan sopan-santun). Terkadang seorang santri juga harus bersikap tegas tanpa kompromi jika memang keadaan menuntut hal tersebut.
Penulis: Emha Ainin Ni'am
Referensi:
- Dr. Atiqullah, “Perilaku Kepemimpinan Kolektif Pondok Pesantren: Studi Multisitus pada Pesantren Bani Djauhari, Pesantren Bani Syarqawi di Sumenep dan pesantren Bani Basyaiban di Pasuruhan,” Sumenep: Pustaka Radja, Hal. 52.
- Anwar Kasful, “Kepemimpinan Kiai Pesantren: Studi terhadap Pondok Pesantren di Kota Jambi,” Konstektualita, Vol. 25, No. 02, 2010.
- Muhammad Ramli, ‘’Manajemen dan Kepemimpinan Pesantren: Dinamika Kepemimpinan Kiai di Pesantren’’ Al – falah, Vol. XXVII No. 32. 2017. Hal. 127.
- Ahmad Faris, ‘’Kepemimpinan Kiai dalam Mengembangkan Pendidikan Pesantren’’, ‘Anil Islam: Vol. 8, No. 1, Juni 2015.
- Haidari Amin dan El-saha Ishom, “Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren dan Madrasah Diniyah”’ (Jakarta: Diva Pustaka, 2004), Hlm. 22.
- Arifin Imron, “Kepemimpinan Kiai: Kasus Pondok Pesantren Tebuireng”’ (Malang: Kalimasada Press, 1993), Hlm. 45.
Tidak ada komentar: