Belajar dari Pram, Hidup memang Bukan Pasar Malam
BukanPasar Malam merupakan salah satu karya tertipis yang pernah dibuat Pramoedya.
Tepatnya diterbitkan pada 1951 oleh Balai Pustaka yang kemudian sempat dilarang
peredarannya pada 1965. Sayangnya, justru karena ketipisan itulah saya mulai
membaca karya Pramoedya sekaligus menjadikannya objek tugas mata kuliah kritik
sastra.
Saya
berpikir buku tipis yang saya beli itu hanya akan berakhir setelah tugas
perkuliahan selesai. Saya salah besar karena seusai membaca Bukan Pasar Malam,
saya malah jadi tergerak untuk pergi ke perpustakaan kampus dan kemudian
membaca Tetralogi Bumi Manusia. Bukan Pasar Malam, ternyata hanya permulaan.
Belajar
dari Pram melalui Gunawan Budi Susanto
Setelah
menyelesaikan bacaan terhadap beberapa buku karya Pramoedya, jalan hidup
membawa saya bertemu dengan sosok yang jelas tidak akan pernah terlupakan
selama tinggal di Semarang. Sosok itu bernama Gunawan Budi Susanto dan banyak
orang memanggilnya Kang Putu, orang kecil di tengah-tengah orang besar yang
terlihat sebagai orang besar di tengah-tengah orang kecil. Kang Putu berasal
dari Blora, sangat dekat dengan Pramoedya dan dia membuka Kelas Membaca Pram
baik itu di kedai maupun di rumah.
Apakah
saya turut serta mengikuti Kelas Membaca Pram di tempat Kang Putu? Jawabannya
tidak. Saya sungkan ketika harus membahas Pramoedya di depan Kang Putu. Saya
merasa cukup membacanya secara pribadi dan mengambil pelajaran dari apa yang
telah ditulis Pram.
Hanya
saja, ada satu pengalaman yang akan terus melekat dalam ingatan saya adalah
pertemuan pertama kali dengan Kang Putu. Kami bertemu di Kedai ABG, Gunungpati,
Semarang, ketika kami sepakat bersama-sama mempersiapkan Pram dalam Tungku,
sebuah acara diskusi yang diisi Soesilo Ananta Toer, adik bungsu dari
Pramoedya. Pertama kali bertemu Kang Putu, seperti halnya saya ketika pertama
kali membaca Bukan Pasar Malam.
Meski
tidak nimbrung di Kelas Membaca Pram namun saya turut serta mengikuti Kelas
Menulis Cerpen Kang Putu dan dari sanalah saya tahu, belajar dari Pram dapat
melalui Gunawan Budi Susanto. Kang Putu mengisahkan banyak pengalaman bahwa
sejak dari kecil, hidupnya tidak pernah jauh dari Pramoedya. Berlaku adil sejak
dalam pikiran merupakan kalimat yang sangat sering Kang Putu sampaikan kepada
kami. Hal ini saya anggap sebagai pengingat dalam pelajaran agar kami selalu
menjadi pribadi yang objektif ketika melihat suatu persoalan.
Kang
Putu tidak pernah menyampaikan sesuatu tanpa tendensi yang jelas. Dia juga
selalu menganggap kami termasuk dirinya sendiri sebagai sekelompok sahabat yang
saling belajar di dalam satu kelas serupa bernama kehidupan. Apabila satu orang
tengah berbagi kisah maka yang lain harus menghormati dengan cara mendengarkan
dan memberikan pandangan. Bagi Kang Putu, semua kisah dapat dijadikan bahan
pembelajaran.
Sebungkus
Nasi Pecel dari Soesilo Ananta Toer
Seusai pertemuan pertama kali kami di acara diskusi Pram dalam Tungku, Soesilo AnantaToer menjabat tangan saya kemudian berbisik, "Hidup harus berani!" yang kemudian saya balas dengan senyum mengembang. Melihat perjuangan Pak Sus mengusahakan kehadirannya di Pram dalam Tungku bersama Beni Santoso lantas terbersit harapan, kelak saya akan mengunjungi rumahnya dan mengucapkan rasa terima kasih.
Selang beberapa waktu kemudian, harapan saya tersambut saat mendapatkan tugas menemani kegiatan peliputan jurnalistik teman-teman Hayamwuruk menuju ke Pataba. Hal ini menjadi kunjungan pertama saya ke Blora untuk menemui Beni dan Pak Sus yang tinggal di sudut Kota Blora, menempati rumah peninggalan Pramoedya. Kami tiba di sana malam hari dan Pak Sus meminta kami menginap agar tugas peliputan dapat ditunaikan secara lebih santai.
Selama sesi wawancara Bersama, saya mulai belajar dari Pram melalui Pak Sus. Pak Sus menceritakan kisah hidupnya yang banyak bersinggungan langsung dengan Pramoedya. Makna kata "Toer" yang ada dalam nama Pramoedya menurut Pak Sus merupakan kepanjangan dari tansah ora enak rasane - atau selalu tidak enak rasanya. Selaras dengan kondisi hidup yang dijalani Pak Sus selama menjadi adik bungsu dari Pram.
Kisah hidup yang disampaikan Pak Sus selama sesi wawancara, saya tarik garis intinya dan ternyata hal itu terdapat dalam Bumi Manusia. Bahwa semua yang bekerja itu mulia, sehingga Pak Sus berusaha tekun menjalani apa saja yang dia kerjakan, termasuk memulung. Tentu saja ungkapan tersebut menjadi pembelajaran yang sangat berharga bagi saya karena secara tidak langsung, Pak Sus menyampaikan pesan kepada saya, apa saja yang dikerjakan harus dipercayai sebagai hal yang berguna.
Selama pekerjaan itu bukan tindakan kriminal, berarti harus dapat dipahami sebagai tindakan beramal dalam kebajikan. Profesi tertentu tidak lantas membuat seseorang berhak merasa lebih tinggi dari orang lain. Sesama anak bangsa baiknya dapat menghargai sesama.
Pak Sus menjamu saya dan teman-teman Hayamwuruk dengan sangat baik selama di Pataba. Dia menyiapkan sarapan pagi dengan membelikan kami menu sederhana namun lezatnya luar biasa. Sebungkus nasi pecel berbungkus daun jati disertai teh hangat yang menyegarkan badan kami setelah semalaman bergelut dengan sesi wawancara. Pak Sus membeli sarapan tersebut dari hasil memulung yang dia kerjakan setiap malam dan kami menerimanya dengan penuh kebahagiaan sebelum berpamitan.
Kunjungan
itu bukan kunjungan yang satu kali saja terjadi bagi saya lalu selesai. Selang
bertahun-tahun kemudian saya berkunjung lagi ke sana beberapa kali namun ada
satu hal yang masih tetap sama, Pak Sus tetap tidak menua. Beni juga masih
ramah seperti biasa, dan Pram masih abadi bersama tulisan-tulisan yang dia
kerjakan.
Hidup memang bukan pasar malam yang dapat membuat kita terus bersenang-senang bersama. Ada masanya kelak saya hanya akan dapat mengenang pertemuan dengan Kang Putu dan Pak Sus, maupun teman-teman yang lain secara sendirian. Sempat belajar tentang arti kehidupan dari mereka patutnya dapat menjadikan saya sebagai pribadi yang lebih baik dari waktu sebelumnya.
Penulis: Resza Mustafa, alumnus LPM Hayamwuruk, FIB Undip. Staf pengajar di Yayasan Salafiyah Kajen Pati. Dapat disapa di akun @resza_mustafa
Tidak ada komentar: