Bencana Banjir sebagai Pembelajaran


 

Air hujan turun dengan deras di wilayah hulu sungai Tuntang. Ambarawa, Salatiga, Kabupaten Semarang. Sesuai hukum gravitasi dan sifat air, ia akan mengalir menuju tempat yang lebi rendah. Mencari cekungan[i], dan terus ke daerah bawah. Air tersebut adalah air yang sama dengan yang menyebabkan banjir di Gubug, Demak, Godong, dan berbagai wilayah di sekitarnya. Sifat air tadi ialah sifat yang dilekatkan oleh Tuhan (Allah SWT) pada makhluk-Nya.


Ketika banjir terjadi, banyak orang sibuk mengumpulkan bantuan dan menyalurkannya. Bahkan setelah bencana tersebut usai, warga terdampak masih saja menerima bantuan. Bukankah sesuatu yang baik jika membantu orang yang kesusahan? Ohh tentu. Tapi sayangnya, banyak orang lupa mempertanyakan mengapa bencana ini terus terjadi, terulang, bahkan meluas areanya.


Ironinya, saat musim kemarau, wilayah Grobogan yang tadi banjir, malah terjadi kekeringan, kebakaran, dan bencana iklim lainnya yang sebenarnya bisa dicegah, diusahakan, dimitigasi.


Dua kondisi yang sama-sama susah. Istilah jawanya, “Mongso udan ra iso ndodok. Ketigo ra iso cewok.” Apabila diartikan: saat musim penghujan kita tidak bisa jongkok untuk buang air besar, karena air di mana mana. Dan saat kemarau kita tidak bisa cebok, karena tidak ada air alias kekeringan.


Jangankan air untuk cebok. Air untuk minum, mandi dan memasak juga tidak ada. Alias harus beli air tangki.[ii]


Dua keadaan tadi terjadi lebih sering dan lebih luas tiap tahunnya. Bahkan akademisi sudah memprediksi bahwa tahun 2040 nanti pulau Jjawa akan kekurangan dan kesulitan air bersih[iii]. Mereka meramal dengan data pendukung. Bukan seperti ahli nujum. Ahli syihir.


Air merupakan kebutuhan dasar manusia. Tanpa air, manusia hanya bisa bertahan dalam tiga hari[iv]. Tanpa makanan manusia masih bisa hidup lebih lama, mingguan, bahkan bulanan[v]. Tapi jika air yang ada adalah air kotor, apakah bisa digunakan? Untuk minum, mencuci, mandi dan lainnya? Jika ini adalah kebutuhan dasar manusia, sudah sepatutnya negara hadir dalam setiap proses siklus air. Jika sumbernya dirusak. Jika sungainya tercemar. Jika pantai dan lautnya penuh plastik. Jika lahan resapannya tertutupi beton dan bangunan.


Tapi berulangkali kita patah hati jika mengandalkan negara menjaga hak-hak dan memenuhi kebutuhan warga negaranya. Ketimpangan dalam akses air bersih adalah ketidakadilan yang selama ini terjadi. Bahkan konflik atas akses sumberdaya air banyak terjadi di sekeliling kita. Nyawa taruhannya. Tidak minum Anda mati. Kalah perang Anda juga mati. Tentu orang dengan kekuatan politik yang selalu menang.


Pada saat menulis ini, hujan deras sedang turun di desa kami, Cingkrong. Desa yang saya tempati sejak akhir tahun 2021. Desa ini kebanjiran lagi Januari lalu. 2000-an warga terdampak, termasuk rumah kecil saya[vi]. Tiap tahun banjir, bahkan pernah dalam jarak waktu seminggu terjadi banjir dua kali. Banjir Kembali datang, padahal kami sudah bersih-bersih rumah. Tidak menyangka ini akan terjadi. Hal itu juga terjadi di desa Baturagung, Gubug[vii].


Jika Anda mendekat dan menemani korban banjir. Anda mendengarkan mereka dari dekat. Akan banyak kisah pilu yang diceritakan. Hal itu pasti.


Bencana yang tiap tahun terjadi dan meluas merupakan sebuah tanda bahwa lahan sudah kritis, daya dukung lingkungan tidak mampu menyokong apa yang terjadi. Sedangkan kesiapan kita selalu keteteran karena kita tidak tepat dalam memperkirakan seberapa besar bencana yang terjadi. Seringkali lebih besar dan menyebar titik lokasinya. Ancaman bencana terus ada dan merugikan[viii].


Lalu apakah kita harus pasrah begitu saja dan menyalahkan curah hujan yang turun? Setiap tetes hujan ini ialah atas kehendak Allah SWT. Ia tidak turun untuk merugikan. Ia turun membawa berkah. Hujan ini pernah juga kau rindukan. kau rapalkan dalam setiap doamu selepas sembahyang.


Kemudian mahkluk Allah ini (hujan) yang kau salahkan?


Kita hanya dibohongi oleh pejabat yang tidak becus bekerja. Tidak mampu berpikir menyelesaikan masalah. Sama ketika pemerintah membangun jalan tapi sering kali cepat rusak. Padahal karena dikorupsi. Tapi menyalahkan kondisi jenis tanah lempung yang lembek, dan konturnya. Ketika seseorang kuliah teknik sipil pasti dibekali ilmu untuk menyelesaikan masalah. Bukan ilmu menyalahkan kondisi yang telah Tuhan berikan[ix].


Ada bukti jalan Purwodadi di jalan Gajah Mada awet dan tahan lama meski 20 tahun sudah terbangun. Yang lewat juga truk lintas provinsi. Muatan berat.


Sebagai penutup, saya ingin memberi pesan bahwa bencana banjir Grobogan ini haruslah memberikan kita pembelajaran dan menambah kebijaksanaan.


Penulis: Wahyu Dwi Pranata (Direktur Supaya Grobogan Maju)



Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.