Pram dan Buku yang Tidak Ada di Sekolah
Di Australia, Amerika Serikat, sampai Filipina, buku-buku Pramoedya diajarkan ke siswa sekolah. Hanya satu negara besar yang tak mengajarkan karya Pram ke generasi muda terpelajarnya: Indonesia.Kalimat di atas adalah ungkapan kekecewaan yang keluar dari seorang Indonesianis asal Australia, Max Lane. Kalimat itu dikatakan Max Lane kepada Abdus Shomad, wartawan media onlien suara.com dalam salah satu sesi wawancara.
Menurut Max, pemerintah Indonesia takut kalau generasi muda Indonesia membaca karya Pram dan karya-karya sastrawan besar lainnya. Sebab, dengan membaca karya sastra tersebut, khususnya karya Pram, rakyat akan tahu narasi yang benar tentang sejarah perlawanan dan sejarah bangsanya sendiri.
Max Lane adalah salah seorang Indonesianis, yaitu orang non-Indonesia yang tertarik dan meneliti Indonesia. Tidak hanya meneliti tentang Indonesia, max juga turut andil dalam proses demokratisasi Indonesia sebagai seorang aktivis. Selain itu, Max juga orang pertama yang menerjemahkan buku Bumi Manusia karya Pram ke dalam Bahasa Inggris.
Sedangkan Pramoedya Ananta Toer, atau Pram adalah salah satu novelis terbesar yang pernah dimiliki Indonesia. Seorang sastrawan yang produktif dan telah menulis lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke lebih dari 42 bahasa di dunia. Pram terkenal dengan karya monumentalnya, yaitu Tertralogi Pulau Buru. Sebuah Roman yang terdiri dari empat buku: Bumi Manusia, Anak Semua bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca.
Mengenal Bumi Manusia
Bumi Manusia dan tiga novel lainnya berkisah tentang Minke, anak Bupati yang memiliki kesempatan untuk sekolah di HBS (Hoogere Burgerschool), yaitu sekolah menengah umum pada masa Hindia Belanda. Sekolah ini didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk anak-anak orang Belanda, Eropa, Tionghoa dan kalangan elit Pribumi. Selama sekolah di HBS, Minke melihat kontradiksi yang terjadi di lingkungannya. Minke sadar, sebagai keturunan priyayi, dirinya dihormati oleh banyak orang dibandingkan pribumi lainnya. Namun, di sisi lain, Minke melihat ketidakadilan, feodalisme dan rasisme yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
Pram, melalui karya Pulau Buru, ingin menyampaikan tentang sejarah perjuangan dan pembentukan identitas nasional bangsa Indonesa. Max Lane mengatakan, 70 tahun sebelum Pram menulis Bumi Manusia, orang Indonesia tidak ada di muka bumi ini. Dalam bukunya, Pram menggambarkan lahirnya orang Indonesa pertama melalui sosok Minke. Dia tidak lagi terbelenggu dalam etnis tertentu. Dia bukan orang Jawa, bukan Belanda, bukan identitas lainnya, tetapi dia bertransformasi menjadi orang Indonesia.
Tetralogi Pulau Buru bisa dikategorikan sebagai roman fiksi-sejarah, karena secara tidak langsung merekam sejarah awal pembentukan identitas bangsa dan perjuangan melawan kolonialisme dengan gaya baru. Perlawanan tanpa senjata dan perang, tetapi dengan berorganisasi dan menulis.
Minke melalui Medan Prijaji, menjadi orang pribumi pertama yang menerbitkan surat kabar berbahasa melayu, dikerjakan dan dicetak oleh pribumi. Medan Priyayi kemudian menjadi medan perjuangkan Minke dalam melawan ketidakadilan atas kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial Belanda. Memberitakan masalah-masalah yang dialami oleh pribumi, serta melakukan pendampingan dan advokasi. Minke juga memiliki andil dalam penbentukan organisai Syarikat Dagang, sebagai wadah bagi para saudagar muslim dalam melawan kebijakan pemerintah kolonial yang diskriminatif.
Tetralogi Pulau Buru ditulis Pram ketika dia menjadi tahanan politik di Pulau Buru. Tetapi bahan dari buku tersebut, berupa dokumen dan catatan sejarah pra-Indonesia telah dikumpulkan Pram sebelum peristiwa 1965 meletus. Hingga kemudian Bumi Manusia terbit pertama kali di Indonesia pada tahun 1980 oleh penerbit Hasta Mitra. Dan Bumi Manusia edisi Bahasa Inggris yang diterjemahkan oleh Max Lane pertama kali terbit pada tahun 1935 oleh Penguin Books, penerbit buku legendaris asal Inggris.
Novel Bumi Manusia sempat dicetak berulang kali oleh penerbit Hasta Mitra. Tetapi pada cetak ulang keenam dicekal oleh Pemerintah Orde baru karena dianggap memuat ajaran komunisme, marxisme dan leninisme. Ajaran komunisme memang diharamkan selama pemerintahan Orde Baru. Bumi Manusia sendiri dilarang Kejaksaan Agung dengan surat larangan nomor SK-052/JA/5/1981 setahun setelah terbit - sementara tiga buku sisanya langsung dilarang tak lama setelah dipublikasikan. Tidak hanya Bumi Manusia, buku-buku lain yang dinilai bermuatan komunisme juga dilarang terbit. Hingga kemudian kebijakan ini masuk ke dalam kurikulum sekolah.
Pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto (1966–1998) memberangus buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer dan sastrawan lainnya karena alasan politik, ideologi, dan keamanan nasional. Hal demikian dilakukan karena beberapa faktor, di antaranya adalah upaya Orde Baru untuk melakukan kontrol atas narasi sejarah nasional Indonesia, pembatasan kebebasan berekspresi, dan ketakutan pemerintah atas pengaruh kristis karya sastra.
Orde Baru ingin mempertahankan narasi tunggal tentang sejarah Indonesia, terutama yang mendukung legitimasi kekuasaannya. Karya sastra yang mengkritik pemerintahan, kolaborasi dengan penjajah, atau menggugat ketimpangan sosial dianggap mengancam stabilitas. Pram, melalui novel-novelnya, sering menyoroti perlawanan terhadap penindasan, yang bisa dibaca sebagai alegori kritik terhadap otoritarianisme Orde Baru.
Orde Baru sejak tahun 1963 telah memberlakukan Undang-Undang No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Barang-Barang Cetakan, yang menjadi alat untuk melarang buku-buku yang dianggap "mengganggu ketertiban umum". Banyak karya sastra, termasuk karya Pram, dilarang dengan alasan "berbau komunis" atau "menyebarkan paham subversif". Penulis, seniman, dan intelektual yang dianggap kritis terhadap pemerintah menjadi target pelarangan, penahanan, atau pembungkaman. Karya sastra dianggap memiliki kekuatan untuk membangkitkan kesadaran politik. Pram misalnya, melalui tokoh Minke dalam Bumi Manusia, menggambarkan perlawanan terhadap penjajahan Belanda—sebuah narasi yang bisa dibaca sebagai metafora.
Setelah Reformasi 1998, karya-karya Pramoedya dan sastrawan lainnya mulai diterbitkan kembali, dan diskusi tentang peran sastra dalam mengkritik kekuasaan semakin terbuka. Pelarangan ini kini diingat sebagai bagian dari sejarah kelam sensor dan represi di Indonesia.
Dunia pendidikan juga mendapat angin segar ketika Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) era Nadiem Makarim mengeluarkan program Sastra Masuk Kurikulum. Program ini merupakan bagian dari Kurikulum Merdeka yang sudah diterapkan di sekolah-sekolah sejak tahun 2021.
Mengutip bbc.com, Anindito Aditomo, Kepala Badan
Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kemendikbud-Ristek, menjelaskan bahwa
program Sastra Masuk Kurikulum ini bukan mata pelajaran tersendiri. Buku-buku
yang direkomendasikan bisa digunakan sebagai bahan belajar mata pelajaran yang
sudah ada, mulai bahasa Indonesia, Sejarah sampai IPA dan IPS.
Anindito memberi contoh, novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer bisa didiskusikan dan dianalisis di kelas sejarah untuk memahami pengalaman menjadi orang Indonesia di zaman kolonial Belanda dan dampak kolonialisme terhadap alam pikir masyarakat Indonesia pra-kemerdekaan.
Pemilihan novel Bumi Manusia dan buku sastra lainnya dalam program sastra Masuk Kurikulum ini direkomendasikan oleh tim kurator yang terdiri dari sastrawan mumpuni dan guru-guru yang berpengalaman menggunakan karya sastra di kelasnya. Di antaranya adalah Eka Kurniawan dan Okky Madasari.
Karlina Supelli, kosmolog sekaligus pengajar filsafat menjelaskan pentingnya membaca karya sastra. Menurutnya di dalam sastra, orang diajak bertemu dengan kisah tentang manusia. Penderitaannya, hidup dan matinya, serta pilihan-pilihan yang tidak selalu tegas, dan sastra mengajarkan orang berbicara dengan fasih. Membaca karya sastra juga melatih kerja otak untuk menjadi tajam karena pembaca diajak untuk berdialog. Membaca memunculkan konfrontasi kesadaran antara pembaca dengan cerita yang sedang dibaca.
Pada 6 Februari Tahun 2025 ini, kita memperingati 100 tahun Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan besar yang memiliki kecintaan luar biasa terhadap bangsa dan negerinya Indonesia. Belum terlambat kiranya jika kita mulai membaca karya-karya Pram, dan sastrawan Indonesia lainnya, utamanya sebagai bahan pembelajaran di sekolah. Di tengah fenomena media sosial dan brain rot, sudah seyogyanya kita kembali kepada teks, kepada karya sastra. Bukan begitu?
Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar: