Bagaimana Pram (Bisa) Menulis, Meski Ia Dipenjara? (Bagian 2)


Sebelum membaca tulisan ini, baca terlebih dahulu tulisan Pramoedya Ananta Toer (Bagian 1)

Teknologi yang diciptakan oleh manusia dan negara yang masih terus berfungsi sejak dulu hingga kini adalah penjara. Seperti yang kita tahu penjara berfungsi untuk menahan manusia dan sebagai tempat pengasingan dari manusia yang lain. Penjara dimaksudkan untuk menghukum orang-orang yang bersalah dan atau melakukan tindak kejahatan. Meski tak jarang penjara juga digunakan untuk menghukum orang tak bersalah bahkan tak pernah diadili sama sekali. Penjara juga merupakan alat kekuasaan yang efektif, karena ketika penguasa ingin membungkam atau mempertahankan stabilitas kekuasaan cukup menjebloskan musuh-musuhnya ke dalam penjara.

Dalam praktiknya ada banyak sekali model atau tipe penjara. Mulai dari penjara yang berada di ruangan hingga yang berada di alam bebas. Ada pula penjara di daerah yang diketahui hingga di daerah yang tidak diketahui oleh siapapun. Contoh-contoh penjara yang terkenal di antaranya ada Siberia, Pulau Buru, Nusakambangan dan lain sebagainya. Tentang pulau Nusakambangan, Pram punya catatan, “Pulau penjara di selatan Jawa Tengah yang sejak jaman kolonial tidak boleh ditulis tentangnya,” tulis Pram tentang pulau ini.

Sebagai manusia, meski ia bukan penjahat dan bahkan sempat menjadi salah satu pejuang Indonesia, Pram sangat tidak asing dengan dunia penjara. Sebab kurang lebih 34 tahun masa hidup Pram dihabiskan di penjara, kamp, dan tahanan rumah. Pemenjaraan itu tak hanya dilakukan oleh Belanda, Pram juga dipenjarakan oleh negaranya sendiri. Pemenjaraan Pram ini merupakan sesuatu yang paradoksal, karena Pram tidak merdeka di negara yang katanya telah merdeka.

Pram ingat ketika dipenjara di Bukit Duri pada masa Belanda pada tahun 1947 ia merasakan kesendirian. “Aku dikurung dalam sel yang diasapi dengan bau got. Begitulah selalu yang terjadi dengan aku. Sendirian.” Meskipun begitu, Pram mengaku beruntung sebab di penjara Belanda ada perpustakaannya. Di sana ada buku-buku dan majalah-majalah sehingga Pram bisa belajar ekonomi
dan lainnya.

Di dalam penjara, meski menderita, Pram tidak padam tekadnya untuk tetap menulis. Dalam keadaan di penjara itu banyak karya yang ditulis oleh Pram.

Semasa dipenjara di Bukit Duri, Pram menulis beberapa naskah yaitu Perburuan, Keluarga Gerilya dan satu novel terjemahan karya John Steinbeck berjudul Tikus dan Manusia, serta beberapa cerpen yang kemudian diterbitkan di Mimbar Indonesia dan Siasat. Dalam kisahnya, naskah-naskah tersebut diselundupkan keluar penjara lewat G.J. Resink. Setelah ia bebas, Pram juga menuliskan pengalaman-pengalamannya dipenjara dalam bukunya berjudul Mereka yang Dilumpuhkan.

Selain dipenjara oleh Belanda, Pram juga dipenjara pada masa pemerintahan Soekarno pada tahun 1960. Pemenjaraan Pram ini disebabkan oleh tulisan-tulisannya tentang orang-orang Cina di Indonesia dalam bukunya berjudul Hoakiau di Indonesia. Di masa ini Pram hanya menulis catatan harian, yang pada akhirnya hancur ketika peristiwa 1965.

Pada peristiwa 1965, sebuah peristiwa abu-abu dan kelam di Indonesia, Pram ikut mengalami penderitaan yang panjang. Sebelum peristiwa 1965 Pram terlibat aktif di organisasi LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang beraliran realisme sosialis dalam mencipta. Organisasi ini dianggap Soeharto sebagai organisasi di bawah naungan PKI (Partai Komunis Indonesia)—dijadikan sebagai musuh negara pada masa itu karena dituduh akan melaksanakan kudeta.

Diceritakan pada masa itu 13 Oktober 1965 rumah Pram dikepung dan dilempari batu oleh sekelompok orang bertopeng. Tak berhenti di situ, Pram kemudian diculik oleh tentara dan polisi yang disertai dengan penghinaan dan pemukulan. Akibat dari pemukulan ini, pendengaran Pram rusak. Tindakan tanpa penyebab yang jelas itu juga merampok harta benda Pram dan memusnahkan naskah-naskah yang dimiliki Pram. Tak ada peradilan dan penjelasan, Pram dipenjara di Salemba sampai Juli 1969. Kemudian dipindahkan ke Nusakambangan selama beberapa saat, lantas pada 16 Agustus diberangkatkan ke Pulau Buru.

Cara menghukum dan mengasingkan manusia tidak hanya dipenjara di ruangan yang sempit, tetapi juga pembuangan dan kerja paksa di daerah terbuka dan liar. Pulau Buru adalah salah satu tempat yang digunakan untuk mengasingkan tahanan politik pada masa Orde Baru. Pram diasingkan di Pulau Buru selama sepuluh tahun lebih.

Pada awalnya, seperti yang telah diceritakan Pram dalam sebuah wawancara, ia dipaksa untuk membuat parit, bekerja dalam sistem irigasi, membangun jalan, dan membuka lahan pertanian. Di daerah terpencil ini Pram dan tahanan politik lainnya harus bertarung dengan cuaca dan hewan ganas yang bisa saja menyebabkan kematian.

Selama bertahun-tahun Pram hanya berkutat pada kerja paksa yang diperintahkan. Hingga pada akhirnya pada tahun 1973, Pram diijinkan untuk menulis. Di Pulau ini Pram menuliskan banyak karya, mulai tetralogi Pulau Buru hingga Arus Balik dan karya-karya lain yang dirampas oleh pemerintah.

Pada 1979 Pram dibebaskan (tapi apa itu bebas?) dan pulang dari Pulau Buru. Ia bebas bersama penderitaan-penderitaan yang membekas. Jadi apakah hidup memang diciptakan oleh Tuhan dengan tujuan sebaik-baiknya seperti anggapan guru filsafatnya Candide, Tuan Panglos yang terhormat ketika melihat kisah Pram yang disiksa dan dipenjara bertahun-tahun tanpa peradilan sama sekali.

Penderitaan-penderitaan ini hingga membuat Pram menganggap hidup sungguh sengsara dan berdoa adalah sesuatu yang sangat sulit diterima. “Dalam hidup sengsara seperti itu, kita disuruh berdoa! Berdoa itu kan mengemis! Darimana ajaran itu, siapa yang menciptakan Tuhan itu? Kita hidup sengsara, masih disuruh berterima kasih, ini ajaran apa?”

Dalam hidup sengsara, menulislah yang membuat Pram betah untuk sesekali bertahan. Karena baginya menulis itu, “Dunia di tangan ini (mengepalkan tangan kanan dan memandangnya). Itu kekuatan, dan menyenangkan. Menulis menyenangkan.”

Pembuatan jalan Anyer sampai Panarukan memerlukan pengorbanan ribuan Pribumi yang mengalami penderitaan-penderitaan, hidup Pram dari penjara ke penjara pun serupa. Pram mengalami penderitaan-penderitaan sembari melahirkan karya-karya yang tetap bergaung dan mengagumkan hingga kini. Inilah metafora dari hidup Pram; seolah-olah Jl. Raya Pos Daendels yang dikaguminya juga turut dialaminya.

Pram telah melawan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya dengan menulis. Pada akhirnya, ia yang membawa luka dan sendirian harus menyerah pada kematian. ia meninggal pada 30 April 2006. Mungkin Pram ingin hidup dan mati seperti pasar malam, yang datang bersama-sama dan pergi bersama-sama. Tapi hidup memang bukan pasar malam; hidup satu-satu, mati pun satu-satu. Pram lahir sendiri, hidup sendiri, dan mati pun sendirian.

Jl. Raya Pos Daendels masih ada hingga kini, begitupun karya-karya Pram. Selayaknya Pram kecil tamasya sewaktu libur sekolahnya ke Rembang melihat jalan panjang Anyer sampai Panarukan; jalan panjang yang mengagumkan dan penuh penderitaan. Barangkali karya-karya Pram sesekali juga akan dikunjungi (baca: dibaca) oleh seorang anak laki-laki lain; karya berumur panjang (dan dalam keadaan menderita ketika menulisnya) dan ataupun karya yang bercerita tentang penderitaan: karya yang mengagumkan!

Penulis: Ahmad Aam
Pegiat literasi, tinggal di Rembang


Sumber bacaan
1. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I & II, Pramoedya Ananta Toer
2. Bukan Pasar Malam, Prameodya Ananta Toer
3. Pramoedya Dari Dekat Sekali, Koesalah Subagiyo Teor
4. Prameodya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, Eka Kurniawan
5. Exile, Pramoedya Ananta Toer In conversation With Andre Vltchek and Rossie Indira

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.