Pramoedya Ananta Toer (Bagian 1)
Pada hari liburnya, seorang anak laki-laki tamasya melihat jalan panjang dan lebar yang ada di Rembang—daerah yang telah melahirkan nenek dan ibunya. Anak laki-laki itu mengagumi jalan panjang itu, sebuah jalan yang terbentang-berliku dan penuh amis darah manusia pribumi dari Anyer sampai Panarukan. Jalan itu, seperti namanya adalah jalan yang digagas oleh H. W. Daendels. Kerja paksa untuk membuat Jl. Raya Pos Daendels ini kita ingat dengan istilah “kerja rodi”, sebuah kerja paksa yang membikin orang-orang pribumi sengsara. Jl. Raya Pos Daendels; jalan panjang dan kisah di baliknya seakan menjadi metafora jalan hidup anak laki-laki itu kelak.
Jl. Raya Pos Daendels tidak melewati Blora, tempat tinggal anak laki-laki itu. Pada masa itu Blora termasuk kabupaten kecil. Blora adalah daerah sunyi dengan pohon-pohon besar yang banyak tumbuh mengitarinya—dahulu bahkan hingga sekarang. Di kabupaten inilah seorang anak laki-laki yang mengagumi Jl. Raya Pos Daendels dilahirkan pada 6 Februari 1925.
Sampai tahun kelahiran anak laki-laki itu, Belanda masih menjajah Indonesia—dulu disebut Hindia-Belanda—kurang lebih selama tiga abad. Akibatnya segala perilaku, pemikiran, dan sikap pribumi sedikit banyak dipengaruhi oleh kebijakan politik maupun non politik Belanda. Tak terkecuali keluarga kecil di Blora, keluarga Mastoer.
Mastoer adalah bapak dari anak laki-laki itu. “Seorang pemuda berumur dua puluh enam tahun, lulusan Kweekschool Yogyakarta, pada waktu itu guru HIS Rembang, menyatakan diri keluar dari jabatan negeri, bernonkoperasi. Pemuda yang berpendidikan tani, pembenci feodalisme, seorang nasionalis yang berkobar-kobar, berperawakan atletis, suka memainkan lagu-lagu klasik ringan pada biola dan cinta pada kebudayaan Jawa.”
Setelah keluar dari HIS (Holland Inlandsche School), Mastoer kemudian pindah mengajar di sekolah partikelir IBO (Institute Boedi Oetomo). Dalam praktiknya, para pengajar IBO memupuk kesadaran pelajarnya tentang situasi keterjajahan dan kesadaran untuk merdeka. IBO sendiri pada tahun 1930-an berubah menjadi Sekolah Nasional. Anak laki-laki Mastoer juga bersekolah di sini.
“Apa pula sekolah nasional itu? Pendeknya secara tidak langsung—karena tidak mungkin secara langsung—diajar membenci penjajahan Barat, Eropa, Belanda. Sebaliknya mengagungkan bangsa sendiri, tak peduli ilmiah atau tidak, asal memerosotkan wibawa kolonial,” kata anak laki-laki itu.
Istri Mastoer bernama Oemi Saidah, seorang perempuan yang lahir di Rembang. “Seorang gadis yang terdidik sebagai putri feodal tanpa kerja, bercita-cita meneruskan sekolah ke Van Deventer
School di Semarang, seseorang yang suka belajar dan membaca, sekarang harus jadi pekerja rumah tangga, aktif dalam kehidupan sosial gerakan wanita. Namun saban hari ia masih memerlukan membaca koran, buku, dan melakukan sembahyang, dan mengasuh anak-anaknya, mengurus kebun, dan mencangkul ladang.”
Dalam ingatan anak laki-laki itu, ibunya adalah perempuan yang sangat perhatian kepadanya, dan baginya adalah perempuan yang paling ia cintai. Dari perkawinan Mastoer dan Oemi Saidah lahir seorang anak laki-laki bernama Pramoedya Ananta Toer. Seorang anak laki-laki yang nasib hidupnya tak berbeda jauh dengan jalan panjang Anyer sampai Panarukan.
Pramoedya Ananta Toer (selanjutnya disebut dengan nama Pram) kecil sekolah di IBO dengan bapaknya sendiri merupakan salah satu guru di sana. Di sekolah ini, Pram mengakui kalau ia tertinggal ketimbang teman-temannya yang lain. Teman-temannya yang lain hanya butuh waktu tujuh tahun untuk menamatkan sekolah, sementara Pram kecil baru menyelesaikannya selama sepuluh tahun. Bahkan setelah tamat pun, bapaknya menganggap ia belum pantas untuk meneruskan ke jenjang selanjutnya. Maka Pram disuruh kembali lagi ke sekolah dasar. Ia bahkan sempat dihardik oleh bapaknya, “Anak goblok! Kalau kau sedikit saja cerdik… kembali, ulangi di kelas tujuh!”
Rindu-dendam barangkali cukup bagus untuk menggambarkan hubungan Pram dengan bapaknya. Kejadian ia disuruh kembali untuk mengulang sekolah adalah salah satu sebab dendamnya tumbuh.
Selain itu, dalam suatu momen yang lain, ia pernah disepelekan terkait ceritanya tentang Surabaya seusai ia pulang bersekolah dari sana. “Ah kamu tahu apa?” komentar bapaknya. Disebabkan
kejadian-kejadian itu dan kejadian yang lain Pram mengaku, “Jadi aku ini banyak dendam kepada bapak. Tetapi aku pun banyak belajar dari dia.”
Perasaan rindu-dendam ini tetap ia bawa sampai kematian bapaknya. Meski Pram dendam terhadap bapaknya, ia juga merasakan rindu ketika ditinggalkan. Simak saja novel berjudul Bukan Pasar
Malam, sebuah novel yang menceritakan kepulangan seorang anak laki-laki ke rumah masa kecilnya di Blora sebab ayahnya sakit dan kemudian meninggal.
Dalam Bukan Pasar Malam, Pram seperti punya keinginan yang mustahil: hidup dan mati harusnya seperti pasar malam. Sebab kematian bapaknya, ia menyayangkan mengapa kehidupan dan kematian tidak seperti pasar malam, yang datang berduyun-duyun ketika lampu kerlap-kerlip dinyalakan, dan pergi bersama-sama ketika lampu dipadamkan.
“…Mengapa kita ini harus mati seorang diri? Lahir seorang diri pula? Dan mengapa kita ini harus hidup di satu dunia yang banyak manusianya? Dan kalau kita sudah bisa mencintai seorang manusia dan orang itu pun mencintai kita--, mengapa kemudian kita harus bercerai berai dalam maut? Seorang. Seorang. Seorang. Dan seorang lagi lahir. Seorang lagi. Seorang lagi. Mengapa orang ini tak ramai-ramai lahir dan ramai-ramai mati? Aku ingin dunia ini seperti pasar malam”
Harapan Pram ini, melalui tokoh orang Tionghoa seperti menegaskan tentang betapa meski ia dendam pada bapaknya ia juga merindu dan tak ingin ditinggal sendirian. Karya Bukan Pasar Malam ini, bagi Koesalah Soebagyo Toer—adik Pram—membuatnya tak bisa membendung air mata. “Dan tiap kali saya ulangi pembacaan itu, air mata tetap menderas seperti hujan,” katanya.
Sementara, hubungan Pram dengan ibunya adalah hubungan kasih sayang yang tak ada batasnya. Dalam kejadian yang sama—ketika Pram tidak dibolehkan bapaknya melanjutkan sekolah lagi—ibunya berusaha menyekolahkan Pram dengan menjual padi. Memahami keadaan, Pram memutuskan untuk sekolah teknik radio di Surabaya. Sebab di situ masa sekolahnya pendek, cuma
tiga tahun, dan dalam setiap tahunnya cuma enam semester.
Tak cuma Belanda, masa hidup Pram juga berhadap-hadapan dengan penjajahan Jepang. Masa Jepang ini menandai usia remaja Pram. Dalam masa ini, karena Jepang keburu datang, Pram tidak
sempat memperoleh ijazah sekolah teknik radio. Di masa ini pula, ibunya, perempuan yang satu-satunya Pram cintai meninggal. Oleh karena itu, Pram kemudian ikut membantu dalam mencari
penghasilan guna merawat keluarganya. Dalam kisahnya, ia menjual apa saja untuk bertahan dan menghidupi keluarganya di Blora.
Dalam ingatan Pram, bapak dan ibunya jarang sekali mengobrol. Menurutnya, ibunya takut berbicara dengan bapaknya. Bahkan dalam bertengkar pun bapak-ibunya memiliki cara yang sangat menarik, mereka bertengkar dengan berbalas tulisan—yang kelak baru ditemukan Pram buku catatannya setelah tiga tahun bapaknya meninggal. Pram mengaku mulai berlatih menulis sejak kelas lima ekolah dasar. Hingga pada akhirnya ia tekuni secara serius ketika ia pindah di Jakarta, sewaktu hidup bersama pamannya.
Dalam kehidupan keluarganya, Pram seperti buku yang telah ditulisnya: Sang Pemula. Buku tersebut merupakan biografi dari tokoh pergerakan nasional bernama Tirto Adhi Soerjo. Dalam catatannya Pram menganggap Tirto Adhi Soerjo sebagai sang pemula dalam dunia surat kabar di Indonesia. Jika dilihat, Pram sendiri juga termasuk sang pemula layaknya Tirto Adhi Soerjo. Hal ini bisa dilihat bahkan dari nama Pramoedya yang memiliki arti “Yang Pertama di Medan”. Layaknya namanya, Pram merupakan sang pemula di dunia tulis menulis guna penopang kehidupan di keluarganya. Yang kemudian diikuti oleh adik-adiknya, sebutlah Koesalah Soebagyo Toer dan Soesilo Toer.
Selanjutnya baca Bagaimana Pram (Bisa) Menulis, Meski Ia Dipenjara?
Penulis: Ahmad Aam
Pegiat literasi, tinggal di Rembang
Sumber bacaan:
1. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I & II, Pramoedya Ananta Toer
2. Bukan Pasar Malam, Prameodya Ananta Toer
3. Pramoedya Dari Dekat Sekali, Koesalah Subagiyo Teor
4. Prameodya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, Eka Kurniawan
5. Exile, Pramoedya Ananta Toer In conversation With Andre Vltchek and Rossie Indira
Tidak ada komentar: