Takdir di Tanah Suwuk



Dalam bilik kayu yang bersandar pada waktu, lantunan ayat-ayat Tuhan mengalun dari bibir santri-santri yang duduk bersila. Suara mereka menyatu dalam harmoni yang tak berubah selama berabad-abad. Di pesantren ini, ilmu turun seperti hujan, deras, dan penuh berkah, tapi hanya mengalir ke tanah yang dipilih.


Gus Fadhlun, anak kiai yang garis nasabnya tersusun rapi seperti untaian doa, melangkah melintasi halaman pesantren. Santri-santri menunduk, merendah seakan-akan tanah tempat ia berpijak lebih suci dari kitab-kitab yang mereka hafalkan. Ketaatan bukan sekadar adab, tapi dogma yang mendarah daging. Sementara itu, di sudut surau, Salman menggenggam mushafnya lebih erat. Ia bukan siapa-siapa, hanya santri biasa yang datang dengan secarik harapan: mencari ilmu tanpa embel-embel trah dan kuasa.


Namun, di pesantren ini, ilmu tak hanya soal hafalan dan keikhlasan. Ilmu adalah warisan, dan warisan harus jatuh ke tangan yang berhak. Kiai adalah pusat semesta, orbit yang mengatur gravitasi hierarki. Dalam kitab-kitab kuning, termaktub kisah para wali yang rendah hati, tapi di halaman pesantren, ketundukan bukan hanya karena ketakwaan, tapi karena garis nasab yang menjadi mahkota tak kasatmata.


"Santri itu harus tahu posisinya," kata Ustaz Waskito suatu hari, matanya tajam menelisik Salman. "Ilmu itu bukan sekadar dicari, tapi harus ada wadah yang pantas untuk menampungnya."


Salman menggigit bibirnya. Sejak kapan akal manusia diukur dari darah yang mengalir di nadinya? Bukankah Tuhan yang Mahatahu tidak pernah mengukur kemuliaan dari silsilah, melainkan dari ketakwaan? Namun, suara hatinya hanya gema yang mati di ruang kosong. Dalam pesantren ini, ketundukan lebih berharga daripada kebenaran.


Malam itu, di bawah rembulan yang mengintip dari celah jendela, Salman membaca lagi kitab-kitab yang ia bawa dari rumah. Ibnu Khaldun menulis bahwa feodalisme muncul saat kekuasaan diwariskan tanpa memperhitungkan kapasitas. 


Nietzsche berbisik bahwa hierarki yang dipertahankan tanpa meritokrasi hanyalah kedok bagi kemalasan berpikir. Dan dalam keheningan, Salman tahu, pesantren ini adalah miniatur dunia—tempat di mana yang lahir sebagai raja akan selalu bertahta, dan yang lahir sebagai hamba akan selalu bersimpuh.


Tapi ia bertanya pada dirinya sendiri: "Apa yang lebih suci, ilmu yang diwariskan atau ilmu yang diperjuangkan?"


Di kejauhan, Gus Fadhlun tertawa bersama beberapa santri senior. Esok atau lusa, ia akan menggantikan ayahnya, memegang tampuk kekuasaan pesantren. Tak peduli seberapa dalam Salman memahami logika dan maqashid syariah, takdir sudah digariskan. Di tanah suwuk ini, pengetahuan bukan jalan menuju kebebasan. Ia hanyalah rantai lain dalam lingkaran takdir yang terus berulang.


Dan di antara kitab-kitab yang terbuka, Salman tahu, satu-satunya kebebasan adalah keluar dari pusaran ini—atau mati bersama impiannya.



Penulis: Adha Nafi'atur Rofiah, bisa disapa di Instagram @tokosulap__ Alumni MABTU 2018, Dewan Redaksi El Kataba 2016

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.