Gulungan Perkamen
Baghdad, ibu kota Dinasti Abbasiyah, menjulang megah di tepi Sungai Tigris. Dinasti ini menjadikannya lebih dari sekadar kota, ia adalah pusat peradaban, tempat ilmu bertumbuh dan mekar. Tepat di Baitul Hikmah, para cendekiawan dan ulama duduk bersila, menelusuri naskah-naskah kuno, menerjemahkan teks asing, sembari menyesap filsafat Yunani, astronomi Persia, dan ilmu-ilmu lainnya.
Namun di balik gairah keilmuan, intrik merayap di lorong-lorong gelap, bisikan pemberontakan mengendap di antara tirai-tirai sutra.
Seorang lelaki duduk di meja kayu Sidr di rumahnya. Permukaannya yang halus telah aus oleh waktu, bekas tinta yang mengering tersebar di sudut-sudutnya. Lilin di sampingnya berkedip pelan, bayangannya menari di dinding bata. Jemarinya menyentuh gulungan
perkamen, sementara matanya menelusuri baris demi baris kata yang baru saja ia tuliskan.
Di luar, angin malam berembus pelan, membawa bisikan kota Baghdad yang tak pernah tidur. Ia tahu, setiap huruf yang ia torehkan bisa menjadi cahaya atau justru bara yang membakar dirinya.
Ketukan di pintu memecah keheningan. Satu… dua… tiga kali. Tidak tergesa, tapi cukup kuat untuk membuat nyala lilin bergetar.
Lelaki itu menatap pintunya yang bergeming, tangannya masih menggenggam pena yang belum sempat ia letakkan. Udara terasa lebih berat dari biasanya.
Ketukan kembali terdengar. Kali ini lebih pelan.
Dengan ragu, ia bangkit dan membuka pintu.
Di ambang, seorang pria berjubah gelap berdiri tegak. Matanya tersembunyi di balik bayangan tudung, suaranya datar saat berbicara.
“Wazir ingin bertemu denganmu.”
Lelaki itu menelan ludah. Dadanya berdesir, tapi wajahnya tetap tenang. Ia melirik ke balik bahu pria itu, ke jalanan yang sunyi. Terlalu sunyi.
“Kapan?” tanyanya, meski ia sudah tahu jawabannya.
Pria itu tidak langsung menjawab. Sejenak, hanya ada suara angin yang menyelinap di antara celah pintu. Lalu, perlahan, bibirnya bergerak.
“Sekarang.”
Ia menarik napas panjang. Tidak ada gunanya bertanya lebih jauh. Tidak ada gunanya menolak.
Dengan tangan yang terasa lebih berat dari sebelumnya, ia meraih mantel dan melangkah keluar. Pintu tertutup di belakangnya, meninggalkan ruangan yang masih dipenuhi sisa-sisa kata yang belum sempat menemui koma titiknya.
Di istana, lorong-lorong panjang berhiaskan lampu minyak yang menggantung di dinding. Karpet merah membentang di bawah langkahnya. Tak ada suara selain gemericik air dari kolam di taman dalam. Di ujung lorong, sebuah pintu besar terbuka. Di dalamnya, wazir
duduk di atas singgasananya, matanya tajam meneliti tamunya.
“Kau menulis terlalu banyak,” ucap wazir tanpa basa-basi.
“Aku hanya menulis kebenaran.”
“Dan kebenaran itu bisa menjadi petaka.” Wazir menyandarkan tubuhnya. “Kau tahu batasnya, bukan?”
Lelaki itu tersenyum samar. “Bukankah ilmu seharusnya disampaikan?”
“Kau pikir siapa yang menentukan mana ilmu yang boleh disampaikan?” Wazir mendekat, tersulut. “Penguasa. Dan kau telah menulis sesuatu yang membuat mereka gatal kepala.”
Keheningan menggantung di ruangan itu. Tidak ada ancaman langsung, tetapi udara terasa mencekik. Lelaki itu bangkit, memberi hormat singkat, lalu meninggalkan ruangan dengan pikiran yang semakin penuh.
-
"Sayembara apa gerangan hingga kau menulis seperti kuda perang?," suara itu muncul dari sudut ruangan, pelan tapi tajam.
Lelaki itu tidak mengangkat kepalanya. Ujung jarinya masih bergerak, mencelupkan pena ke tinta, mengisi perkamen yang mulai menumpuk. "Aku hanya ingin menulis sebelum segalanya terlambat."
Sosok di bayangan mendekat, melipat tangannya di dada. "Apa kau benar-benar yakin tulisanmu akan mengubah sesuatu?"
Ia tersenyum kecil, masih menulis. "Aku tak tahu. Tapi aku lebih takut jika tak ada yang menuliskannya sama sekali."
"Kau sadar, kan? Kata-kata bisa membawamu pada akhir yang buruk."
Tangan itu terhenti sesaat. Ia menatap tinta yang mulai mengering di ujung pena, lalu menghela napas. "Lebih buruk daripada hidup dalam diam?"
Hening. Angin dari celah jendela membawa aroma malam yang berat. Sosok itu akhirnya tertawa pelan, entah mengejek atau justru memahami.
"Kau keras kepala."
Lelaki itu kembali menulis. "Tidak. Aku hanya tahu mana yang tak boleh dibiarkan hilang."
Beberapa hari kemudian, di sebuah gang sepi di Baghdad; gang yang kini disebut
orang-orang sebagai Al-Khiyalat, Lorong Bayangan; tubuh seorang lelaki ditemukan dalam keadaan yang mengenaskan. Bau besi yang samar bercampur dengan udara malam yang lembap. Tidak ada jeritan, tidak ada tanda perlawanan.
Dua pria tua berdiri di ujung gang, berbisik di bawah cahaya lampu minyak yang berkelip lemah.
“Siapa yang masih berani menulis setelah ini?” salah seorang dari mereka berucap,
suaranya nyaris tenggelam oleh angin.
Yang lain menggeleng, menarik serbannya lebih dalam, seolah takut udara malam bisa mendengar. “Mereka tidak membunuhnya karena tulisannya.”
“Lalu?”
“Karena pikirannya.”
“Tinta merah”
Namun, gulungan kertasnya tidak hilang. Beberapa orang telah menyalinnya, menyembunyikannya, membacanya dalam sunyi. Dan meski namanya tak lagi disebut dengan lantang, tulisan- tulisannya tetap hidup. Sampai akhirnya, di sudut-sudut kota, bisikan itu berubah menjadi kenangan.
Dan nama itu, yang tersimpan di dalam sejarah dengan tinta yang tak pernah benar-benar pudar, adalah Ibnu Muqaffa’.
Semoga pers di negeri rempah, tidak bernasib sama.
Penulis: Adha Nafi'atur Rofiah, bisa disapa di Instagram @tokosulap__ Alumni MABTU 2018, Dewan Redaksi El Kataba 2016
Tidak ada komentar: